Cita-cita Surgawi, Mulai dari Diri Sendiri
Semua orang
yang masih diizinkan Allah untuk memasuki usia kepala dua, pasti mengalami hal
ini: menyaksikan teman-teman sebaya satu-persatu melepas masa lajang. Termasuk
saya, yang sedihnya cuma bisa melihat dan mendoakan mereka dari jauh, dari sosial media saja. Tak hanya kakak
senior atau teman sekelas, adik-adik kelas pun sudah banyak yang mendahului.
Bahkan ada pula yang sudah punya momongan.
Saya sampai
malas menghitung lagi, siapa saja kawan saya yang dijemput jodohnya tahun ini. Yang
paling dekat dan tenar, tentu saja si Alvin putranya Ustadz Arifin Ilham dengan
Carissa. Ada juga kawan seangkatan saya di Mesir, Andre dan Bety. Saya tidak
dapat berkomentar apapun, melainkan berdoa, semoga Allah merahmati dan
memberkati pernikahan mereka. Semoga dari mereka lahir penerus pejuang agama
sebagaimana orang tuanya.
Soal baper,
maaf itu gak ada dalam kamus saya. Haha *benerin kacamata. Karena sebagaimana
kematian, jodoh itu urusan yang sangat privasi, gak bisa disama-samain ataupun
dibandingin. Jadi ketawa lihat meme-meme yang nyinyir begini “Alvin umur 17 aja
udah nikah, kamu yang 20 an calonnya mana?”... haduh, ada-ada saja.
Lha terus maksud
Latip nulis beginian apa?
Begini lho,
tiba-tiba saya terpikir sesuatu. Melihat beberapa teman mendadak iri, lalu mendamba
jodoh se-sholeh Alvi atau se sholehah Carissa, saya jadi heran: kenapa gak
mikirin diri sendiri dulu sih. Sholatnya udah bener belum, masih suka
nunda-nunda apa enggak? Baca al-Qur’annya udah rutin belum, apa cuma sesempatnya
aja? Begitu juga, ketika beberapa kawan yang lain takjub melihat anak seorang
Ustadz masih muda kok sudah alim dan pintar agama, pikir saya, ya kenapa gak memintarkan
diri sendiri dulu sih? Mumpung masih sendiri, dan masih diberi kesempatan Allah
juga. Kalaupun sudah menikah dan berkeluarga, ya bukan berarti jadi terhalang untuk
terus belajar kan...?
Dalam kaidah
ilmu Ushul Fiqih, itsar atau mendahulukan orang lain dalam urusan dunia
itu baik dan mulia. Banyak contohnya, salah satunya kisah para sahabat yang
sampai mati syahid kehausan karena mendahulukan sahabatnya untuk minum terlebih
dahulu. Atau kisah seorang sahabat yang pura-pura makan hanya supaya tamu yang
dijamunya kenyang. Kerelaan mereka yang luar biasa untuk mendahulukan saudara
membuat kemuliaan mereka abadi dalam sejarah.
Tapi, itsar
ternyata gak selamanya mulia... mendahulukan orang
lain dalam urusan ibadah justru dianggap makruh. Misal, mendahulukan
orang lain untuk dapat shaf pertama shalat berjamaah. Atau dalam kasus yang
saya bahas ini, mendahulukan calon suami/isteri atau anak supaya lebih mulia
daripada kita sendiri. Entah itu hapal al-Qur’an, pendakwah yang gigih, ataupun
ulama yang sholeh. Menurut saya, cita-cita surgawi yang seperti itu tidak boleh
diserahkan begitu saja kepada calon jodoh maupun “anak saya nanti”.
Bukan saya
menyalahkan mereka yang berharap begitu. Namun, saya hanya mengajak supaya saya
sendiri dan kawan-kawan tidak terbuai dengan harapan ini itu. Menginginkan calon
suami yang selalu shalat malam, terus saya sendiri shalat malamnya kapan?
Merencanakan program supaya anak saya nanti bisa hafal al-Qur’an di usia
sekolah, lha hafalan untuk saya sendiri bagaimana? Menginginkan agar
anak perempuan saya besok adalah seorang perempuan yang pandai menjaga diri
seperti Bunda Maryam, lalu posisi saya yang juga anak perempuan sudah seperti
apa?
Jadi ingat
pesan Aa Gym, “Mulai dari diri sendiri, dari yang terdekat, sekarang juga!!”
___
*pesan ini
sebenarnya ditujukan kepada diri sendiri.
Kalaupun ada
manfaatnya bagi orang lain, itu adalah karunia Rabbil ‘Izzati.