Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir



Kemarin malam saya dikejutkan oleh tampilan Whatsapp saya yang berubah. Ada dua tab baru berupa tab kamera dan tab status. Tab kamera berfungsi untuk mengambil gambar yang bisa dibagikan sebagai kiriman ke kontak maupun sebagai status. Eh tunggu dulu, status? Saya kan jomblo*eh.

Jadi gini, status di Whatsapp yang sebelumnya hanya berupa “sibuk”, “di kantor”, “sedang tidur”, atau kutipan maks 160 karakter sekarang sudah jadi snap ala Snapchat atau Stories di Instagram. Bisa dikomentarin juga, nanti masuknya ke pesan pribadi ke pemilik status, seperti di BBM.


Ngomong-ngomong,  saya belum menemukan padanan bahasa Indonesia untuk istilah snap. Kalau di kamus sih, artinya memotret atau menjepret (*saya sampai periksa KBBI utnuk lihat keberadaan kata ini, wkwk). Tapi maksud snap—yang bakal saya ulang-ulang di sini- adalah mengambil foto, diedit, diberi keterangan dan efek opsional, lalu diposting dan akan hilang setelah 24 jam. Fitur ini pertama kali dipopulerkan oleh media sosial Snapchat, yang kemudian diikuti oleh Instagram dengan Storiesnya dan Facebook dengan siaran langsungnya.

Perubahan tidak selamanya disambut dengan baik, begitu juga tidak semua fitur baru memberi kemudahan dan kesenangan. Termasuk snap ini. Dalam kurun lima jam pertama Whatsapp (selanjutnya saya singkat WA, biar gampang) tampilan baru ini, kebanyakan status pertama yang saya lihat dari teman-teman kontak saya adalah komentar keheranan. Kalo boleh kasar sih, mencibir.

“Snap-snap?? Entar lama-lama sekalian aja ada ‘siaran langsung’ *emot peluh”

“Ga mau kalah gini si Whatsapp”

“Jadi sekarang WA udah bukan aplikasi termurah lagi, gitu maksudnya?”

Nah, komentar terakhir itu saya setuju banget. Saya bukannya menolak snap. Hanya saja saya khawatir bahwa fitur tersebut akan mengurangi citra WA yang terlanjur lekat sebagai aplikasi merakyat lan sejuta umat. Kelebihannya sebagai aplikasi yang ringan, tidak memberatkan RAM, dan juga tidak banyak makan kuota membuatnya dinobatkan menjadi “BBM killer” pada zamannya. Saya garis bawahi deh, pada zamannya.

Jadi pada waktu itu (sebut saja tahun 2013-an, pertama kali saya berkenalan dengan smartphone) emang setahu saya gak ada aplikasi messaging lain yang fiturnya selengkap BBM, sebut saja Line, WeChat, Viber, ataupun Kakao talk. Di antara mereka WA tampil sangat minimalis, hanya mendukung pesan teks, suara, gambar dan video. Namun justru di situlah keunggulannya. WA bisa meliputi berbagai platform software smartphone, mulai dari Android, Windows Phone, iOS, Blackberry sampai Symbian bersaudara. Semua jenis hape(selain hape fitur tentunya)  dari yang murah sampe mahal bisa pakai WA. Jadilah dia aplikasi messaging yang saking merakyatnya, bisa menggeser posisi SMS di hape banyak orang.

Seiring berjalannya waktu, WA mulai ‘bersolek’. Apalagi sejak diakuisisi Facebook pada tahun 2014. Berbagai macam fitur ditambahkan, mulai kemampuan mengirimkan dokumen, lokasi, GIF, reply, tag nama orang di grup, hingga link undangan masuk grup. Adanya penambahan fitur-fitur tersebut artinya penambahan rumus algoritme. Rumus algoritme yang kompleks berdampak pada kinerja yang makin rumit dan ujungnya memberatkan aplikasi. Cache yang semakin besar juga akhirnya menambah sesak memori RAM. Semua proses itu  gak akan terlaksana tanpa data internet, yang artinya kuota internet yang terpakai jadi makin banyak.

Intinya, semakin lengkap fitur, konsekuensinya adalah aplikasi yang semakin lambat dan kuota makin cepet habis. Dan rumus ini berlaku di semua aplikasi, gak cuma WA.

Nah terjawab kan, kenapa aplikasi kaya fitur seperti BBM dan Facebook terkenal berat dan boros?

Terkhusus hubungannya dengan masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir). Bagi kami WA itu alat komunikasi utama. Yang bisa menandinginya hanya nomor telepon. Itu saja kadang masih banyak yang gak punya pulsa telepon, karena lebih memilih pesan beli paket data. Jadi bisa dibilang, WA hampir jadi kebutuhan primer seperti makan dan tempat tinggal. Facebook saja hanya menduduki urutan kedua. Instagram nomor berapa? Tiga, mungkin. Saya gak punya akun Instagram soalnya.

Tunggu dulu, kenapa primer?

Ya kan kami anak rantau. Gak ada makanan, kami bisa puasa. Gak ada tempat tinggal, kami bisa menginap di rumah teman. Tapi gak ada alat komunikasi? Waduh, urusannya bisa sampai ke keamanan bahkan nyawa, gara-gara info pengurusan visa atau modus baru kriminal yang terlambat. Atau paling kecil, akibatnya “cuma” jadwal kegiatan dan agenda internal kami yang sungguh padat jadi berantakan.

Kembali ke fitur baru WA.

Saya masih memaklumi penambahan fitur yang kemarin-kemarin.  Karena memang berguna banget. Kita kirim dokumen gak perlu pakai email lagi. Kalo nyasar bisa nanya temen sambil pasang lokasi. Terhindarkan dari salah paham berkat tag dan reply, dan masih banyak lagi. Konsekuensinya, WA gak lagi kompatibel buat Symbian bersaudara dan Android Gingerbread ke bawah. Alasannya, ya karena udah tambah berat. Bersyukur banget hape Nokia 210 saya pernah hilang dicopet pas awal-awal saya di Mesir. Jadi punya alasan ke Umi (ibu saya) buat ganti hape baru deh, dan untungnya udah Kitkat. Jadi masih bisa pakai WA sampai sekarang.

Makanya saya gak tahu ambisi macam apa yang merasuki kepala bos besar Facebook, Mark Zuckerberg sampai memaksakan fitur snap ini di WA. You know Mark, we don’t really need that silly feature. Menurut saya, kayaknya Om Zuckerberg ini keblinger ngeliat suksesnya fitur snap ini di Instagram dan Facebook.

Oke... oke, saya akui sukses besar inovasinya. Kalau mau bukti, tanya aja sama yang pernah menggunakan Snapchat, lebih keren mana sama snap ala stories nya Instagram? Rata-rata mereka pasti bilang, kerenan yang di Instagram.

Tapi gara-gara snap ini juga, meskipun gak seberapa banyak dibanding Instagram, namun jelas sekali pemakaian data WA akan bertambah dua kali lipat dibanding sebelum menyandang fitur tersebut. Dalam kurun lima jam sejak WA saya update, saya sudah coba membuka tab status beberapa teman dan ternyata memakan hampir 7 MB. Itu baru lima jam, dan saya belum aktif berkirim pesan dengan siapapun. Bandingkan dengan hari-hari saya kemarin yang aktif berkirim pesan seharian penuh, lengkap dengan pesan gambar dan pesan suara tapi habisnya gak sampai 4 MB.

Masalahnya jelas, fitur snap ini bagi saya pribadi GAK PENTING. Sudah terlalu banyak diwakilkan oleh Instagram dan Facebook yang jelas jauh lebih canggih. Buat apa sih, gaya-gayaan? Lama-lama WA gak jadi messaging, tapi jadi semi- medsos seperti Line.

Masalah kedua, gak semua masisir meluangkan uang untuk beli paket data lebih. Beasiswa tuh kayak hujan yang kalau lagi turun di Mesir: gak pernah deras.

Makanya pakai wi-fi dong.

Nah ini nih.... komentar paling sialan yang apesnya sering banget saya dengar. Dikira wi-fi gak ada efek negatifnya apa? Banyak. Gak cuma masalah waktu yang sering tersia-siakan, tapi juga masalah kesehatan. Simak aja di sini. 
Lagipula, senyaman-nyamannya wifi, masih lebih nyaman paket data. Soalnya relatif lebih cepat dan lebih jarang error dibanding wi-fi yang kadang suka berebut bandwidth atau sinyal putus-putus.

Masalah lain, saya khawatir kalau penambahan fitur snap ini nantinya (*belum sih, tapi pasti) diikuti tambahan-tambahan efek editing dan filter segala rupa. Ujungnya, perangkat yang kompatibel dengan WA nanti makin sedikit. Kalau suatu saat nanti Kitkat senasib sama Froyo yang gak bisa pasang WA lagi, saya harus gimana?

Beli hape baru lagi?

Aduuuh, masa saya harus kecopetan hape dulu supaya dibolehin beli hape lagi. Apalah daya saya mah, cuma seorang mahasiswa pas-pasan yang punya smartphone aja “terpaksa” supaya bisa pakai WA. Mau balik ke SMS lagi, gak ada temennya. Mahal pulak.

Jadi, ada jalan keluar lain gak sih, buat masisir?

Apa ya? *pijat-pijat kening.

Kalau saya sih, berdoa supaya Om Zuckerberg mendengar keluh kesah saya dan pengguna WA lainnya yang punya keluhan serupa. Supaya Om yang udah tajir itu gak tamak-tamak amat nambah fitur lagi. Biarlah Facebook sama Instagram aja yang penuh fitur, toh pengguna setianya udah miliaran. Biarkan Whatsapp mandiri dengan segala kemudahan dan gaya khas minimalisnya. Karena itu yang bikin kami semua sepakat ‘jatuh hati’ dan gak lari ke aplikasi lain yang serupa macam Google Allo, Imo atau Telegram.

Siapa gitu kek, kirim surat ke Om Zuckerberg pake bahasa Inggris. Biar dia denger. Atau terjemahin tulisan saya ini. Atau kalau enggak, isterinya aja deh yang semoga baca ini. Kan isterinya orang Indonesia tuh. Mestinya paham dong, sama kita-kita rakyat kecil jelita inih.

Atau masisir coba berhijrah ke “aplikasi lain yang serupa itu” aja gimana? Saya lihat udah banyak yang punya Imo tuh. Telegram juga keren, grupnya bisa nampung seribu orang. Google Allo kayaknya seru, stiker lucunya lebih banyak... Ah, saya mau mbahas mereka takut nanti kepanjangan.

Akhirul kalam.... Doa aja deh supaya masisir dapat beasiswa yang cukup untuk kebutuhan primer mereka: sandang, pangan, papan, dan komunikasi.

NB:

Bagi kawan-kawan yang WA nya udah terbaru dan bingung kontaknya di mana, nih saya kasih bocoran.

1. Tap saja ikon message yang diapit ikon search dan tiga titik untuk pengaturan di kanan atas halaman whatsapp. Ketika di-tap akan langsung muncul deretan kontak seperti biasanya.


2. Bisa juga cari kontak dengan mengetikkan nama di search.

3. Kalau belum ada kontaknya, bisa kok ditambahkan. Tap ikon orang dan tanda +.

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..