Buku Hadiah Amir?

"Fiaa.. tunggu!"

Seorang pemuda berkacamata tergopoh-gopoh menyusul dari belakang. Setelah dekat denganku ia menyerahkan sebuah buku yang tampak familiar. Aku menerimanya dan membuka halaman pertama. Kosong. Selain tanda tangan dan nama penulis, tidak ada nama siapapun di situ.

"Ini punya siapa, Mir?" Tanyaku menyelidik.

Ia tampak terkejut, "lho? bukan milikmu ya? Lantas milik siapa?"

Aku menggeleng cepat dan berulang tanda tidak tahu.

"Aduh, gimana ya? Ini satu-satunya buku yang masih ada di tangan aku. Masalahnya,
di bagian belakang ada namanya begini," dia menunjukkan halaman terakhir buku tersebut. Tertera sebaris tulisan dengan tinta biru:

"Hadiah dari saudaraku, Amiruddin.."

Oh aku paham. Amir pasti gugup kenapa namanya ada di situ. Tapi bagaimanapun, lebih tidak mungkin lagi kalau buku itu punyaku, karena semua bukuku pasti sudah aku beri nama di halaman depan.

"Jangan kegeeran gitu lah, Mir. Bisa jadi salah satu orang yang nitip meminta tanda tangan penulisnya kemarin ada yang punya saudara bernama Amir juga."

Beberapa hari yang lalu, seorang penulis terkenal kota ini berkunjung ke kampus kami dalam rangka bedah buku terbarunya. Tidak heran acara tersebut menyedot minat banyak sekali peserta. Saking ramainya, ada beberapa kawan yang belum mendapatkan tanda tangan beliau. Amir yang kebetulan jadi panitia berhasil aku bujuk untuk memintakan langsung tanda tangan kepada penulis tersebut saat sesi break. Itulah sebabnya dia terpaksa membawa beberapa buku teman, yang mungkin saja ada yang belum diberi nama.

Melihatnya kebingungan begitu membuat keisenganku terbit untuk menggodanya.

"Aduduuh yang punya penggemar rahasia... Diam-diam ada yang nulis nama kamu, seolah kamu yang belikan. Padahal cuma bantuin minta tanda tangan, duduuh..."

"Yaa kan kali aja itu emang bukumu, lalu kamu sendiri yang menulis namaku di situ." Jawabnya datar sambil membolak balik halaman buku bersampul biru muda tersebut.

Sial, serangan balik. "Enggak lah. Jangan tuduh sembarangan!" Aku menyergah. Amir tertawa kecil.

"Iya Lutfia, iya.. maksud aku nanya tadi kan, siapa tahu kamu kenal pemiliknya. Ya sudah, kamu pegang dulu ya. Aku sibuk nih, mau pergi dulu." dalam sekejap buku itu berpindah tangan kepadaku.

"Heh sembarangan. Ini amanat kamu, kok diserahkan ke aku sih?"

"Please, pegang dulu ya. Nanti aku ambil lagi." Ia tersenyum ganjil lantas berlari menjauh.

Dasar anak itu. Sudah nuduh yang bukan-bukan, tambah beban amanah segala.

Di kantin, uluapkan kekesalan siang tadi pada Leli, teman makanku siang ini. Leli menyimak ceritaku. Ia menjawab di sela-sela suapannya.

"Fia, dari tadi kan kamu merasa dituduh yang bukan-bukan oleh Amir. Sekarang coba kita balik sudut pandang itu. Kamu yang menuduh Amir. Kamu sudah berburuk sangka kalau dia mengira kamu kagum sama dia. Bisa jadi dia memang cuma kaget lihat namanya di buku orang, terus dia keingetan kamu. Dari sekian orang yang nitip ke dia, cuma kamu kan yang dia kenal baik."

"Iya Lel, aku paham banget kalau dia gugup. Tapi masa terus ngasihnya ke saya? Dia pegang dulu lah, orang dia yang dapat amanah.."

Berarti ada satu kemungkinan lain, Fii....."

"Apaan?"

Leli menyeruput sedikit minumannya, sebelum kemudian ia menatapku dalam-dalam.

"Itu berarti memang Amir mau menghadiahkan buku itu untuk kamu, Lutfia sayang... Katanya kamu suka baca, masa kode kaya gitu aja kamu gak bisa paham sih?"


 ---------------
Kairo, 18 Februari 2017


.
.
.
Fun facts:
a. Gak tahu kenapa akhir-akhir ini saya cenderung menulis cerita mini. Sejenis cerita singkat, tapi kalau jadi status facebook kok kepanjangan, tapi jadi cerpen juga gak sampe. Kurang banyaakk... 😢


b. Pertama kalinya nulis cerita yang rada manis, wkwk... Yang jelas, cerita ini hanya fiktif belaka. Segala bentuk kesamaan itu sama sekali tidak disengaja.

c. Cerita mini (cermin) ini terinspirasi dari acara bedah novel Sayyiduna karya Musthafa al-Azhary yang diselenggarakan KPMJB bekerjasama dengan PMIK tanggal 14 Februari 2017 kemarin.

Suasana asli bedah buku Sayyiduna. Sumber: ig @ppidunia

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..