Pengganti Orang Tua Sementara (Bagian 2) -Selesai-

(NB: Ini adalah cerita sambungan dari bagian 1, baca dulu yaa..)

Akhirnya kabar yang aku tunggu-tunggu tiba. Umi mengabarkan bahwa tanggal keberangkatanku ke Mesir sudah ditentukan, yaitu dua minggu lagi. Aku terkejut bukan main, sebab menurut perkiraan aku baru akan berangkat sebulan lagi. Itu berarti waktuku di Solo tinggal seminggu lagi. Karena seminggu sebelum keberangkatan aku harus sudah pulang ke rumah untuk persiapan segala sesuatunya.

Ketika kuberitahu bahwa aku akan pulang sebentar lagi, Difah memintaku untuk memintakan izin kepada pengasuhan supaya dia bisa ikut pulang.


“Ngapain ikut pulang??” tanyaku heran.


“Biar bisa ikut nganter Mbak Latif ke bandara lah.. Kan, habis ini gak bisa lihat Mbak  lagi…” jawabnya sungguh-sungguh.


Aku takjub mendengarnya, dan dalam hati terharu sekaligus menyetujui ide tersebut. Tapi ongkos bolak-balik Solo-Bekasi sama sekali tidak sedikit. Belum lagi kecilnya peluang izin untuk pulang. Apalagi dia masih anak baru. Khawatir kalau dia pulang, nanti tidak mau balik lagi ke pondok.


“Eh, daripada ikut pulang, mendingan uangnya buat jajan. Lumayan itu, bisa buat sebulan..” aku membujuknya dengan alasan yang sama sekali tidak menarik.


“Yaaahhh… gak papa lah mbak, kan aku punya tabungan sendiri..”


“Ih, gak usah. Repot nanti kalo Bapak harus ngantar kamu ke Solo lagi. Emang kamu bisa balik sendiri??”


“Yaahh..” keluhan panjang, dia tidak bisa menjawab lagi.


Kasihan sebenarnya. Akhirnya aku merencanakan sebuah ide.


“Ya sudah, bagaimana kalau besok Jumat aku ajak kamu jalan-jalan. Gimana?”

Tentu saja dia tidak menolak.

***

Seminggu terakhir itu kumanfaaatkan sebaik mungkin. Kubelikan keperluan-keperluan Difah yang masih kurang. Ku ajak silaturahmi ke rumah kerabatnya di Kartasura, biar dia tahu kalau dia tidak sendirian di Solo ini. 

Pada hari sebelum aku pulang, waktu itu hari Jumat, aku memenuhi janjiku mengajaknya jalan-jalan. Namun karena tidak punya banyak uang, maka disepakati tujuan utama hanya lihat-lihat, bukan belanja. Perjalanan kami cuma naik Bus Solo Trans (BST), ngintip-ngintip isi buku di Toga Mas, makan steak di Grand Mall, dan jajan di Sami Luwes. Tidak lupa foto-foto. Setelah itu aku mengajaknya showan ke Usth. Nisa di komplek Ardhan. Kami benar-benar sampai di pondok ketika Maghrib, dan Difah langsung bergegas ke musholla.

Esok harinya, aku sibuk memilah-milah barang yang bisa aku tinggalkan untuk Difah dan barang yang akan aku bawa pulang. Sambil merutuk diri sendiri mengapa tidak kulakukan dari kemarin-kemarin. Begini deh akhirnya, kelabakan.


Difah sepulang sekolah kusuruh membantu. Aku memberinya barang-barang warisanku sambil kujelaskan bahwa itu mungkin akan bermanfaat untuknya suatu saat. Sok bijak, padahal cuma pengin meringankan barang bawaan saja. Mengingat aku tidak akan pernah kembali ke tempat ini lagi hingga beberapa tahun ke depan.


Setelah berpamitan dengan Ust. Halim dan Usth. Uswah, , aku dan Difah menuju gerbang utara pondok sambil terseok-seok mengangkat tas yang begitu berat. Kemudian berpamitan dengan siapapun yang aku jumpai di sana, teman-teman penjaga syirkah,bulisah, sampai Usth. Meisyah yang kebetulan sedang menjaga di sana.


“Tin, jangan lupa titipanku buat Zulfah yaa..” kata Usth. Meisyah sambil jarinya mengisyaratkan sesuatu. Aku paham maksudnya.


“Sip mbak..”


Segera aku panggil becak menuju stasiun Purwosari. Setelah semua barang dinaikkan ke atas becak, aku salim ke Difah,


“Dif, mbak pulang dulu ya..”


Difah langsung memelukku. Tinggi badan kami yang hampir sama membuatku dapat mendengar isakannya yang lirih,


“Mbak Latiiif.... Mbak…”


Yaa Salaam… mataku menghangat, membangun bendungan kecil di sudutnya. 

Kesibukanku beberapa waktu lalu membuatku lupa, bahwa orang yang paling penting untuk aku pamit darinya adalah Difah adikku ini. Tapi bel sudah berbunyi dari tadi, dia harusnya masuk kelas siang sekarang. Ditambah keretaku akan berangkat lima belas menit lagi. Aku tidak bisa berlama-lama pamitan seperti ini.


“Udah Dif… kamu pasti kuat, toh kalau liburan kamu juga bakal pulang kan.. Mbak bakal doain kamu terus deh…”. Bendungan itu akhirnya jebol, airnya tumpah.


Aku segera melepas pelukannya dan segera naik ke atas becak. Baru beberapa kali Pak becak mengayuh, aku teringat sesuatu. Ku longokkan kepala ke belakang dan mendapatinya masih berdiri di situ.


“Diif… buruaan masuk kelaass.. udah bel daritadiii…!!!” 

***

Sebenarnya, situasi yang aku hadapi sama persis dengan beberapa minggu lalu, ketika Bapak dan Ibu pamit meninggalkan Difah di pondok. Bedanya, mereka tetap tegar, tidak sepertiku. Aku jadi merasa bodoh karena sudah menangis tadi. Rasanya gagal jadi pengganti orangtua buat dia, karena gak bisa terlihat kuat dan justru menambah kesedihannya. Diam-diam aku mengagumi ketegaran mereka.


Huft, aku yang cuma kakak saja gak tega meninggalkan anak itu sendirian, apalagi orangtua. Aku berani jamin,bahwa mereka pasti jauh lebih gak tega lagi. Apalagi kalau anaknya sampai menangis. Pastinya mereka lebih merasa berat daripada aku. Harusnya mereka bisa menangis lebih daripada aku. Tapi buktinya, mereka tidak menangis sama sekali. Bahkan masih bisa tersenyum menguatkan.


Saat aku melihat Difah ketika pamitan tadi, aku seperti kembali ke enam tahun yang lalu, ketika aku mengantarkannya masuk SD. Gaya menangisnya masih seperti itu, menunduk sambil mengusap-usap air mata dengan ujung kerudungnya. Membuat siapapapun yang melihat tidak akan tahan membiarkannya. Dan aku yang merasa menjadi penyebabnya, tidak dapat berbuat apa-apa.


Aku seperti terbangun dan sadar akan beberapa hal. Kesadaran bahwa Difah bakal sendirian setelah ini. Kesadaran bahwa Difah masih begitu kecil dan masih banyak bergantung padaku. Kesadaran bahwa aku mungkin tidak akan bisa melihatnya sampai dia kelas lima atau enam KMI. Bercampur aduk dengan perasaan haru bahwa aku akan pergi jauh sebentar lagi. Bahwa aku akan merindukan pondok, Difah, kota Solo, semuanya.
Di dalam kereta Solo-Jakarta aku menangis lagi, sejadi-jadinya.


--------------
Kairo, 29 Maret 2016

Aku dan Difah di hari terakhir kita jalan-jalan, makan es krim di Solo Grand Mall

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..