Pengganti Orang Tua Sementara (Bagian 1)

Kuberitahu ya, bahwa tokoh yang jadi santri dalam cerita ini bukan aku sendiri, melainkan adikku, sebut saja Difah. Sebetulnya kami sama-sama nyantri di pondok yang bersebelahan dengan masjid Tegalsari itu. Perbedaanya tentu saja tahun masuk, karena selisih usia kami cukup jauh, hampir sembilan tahun. Dia baru kelas satu KMI setelah aku menyelesaikan kewajiban pengabdianku setahun. Mengapa aku yang menuliskan kisah Difah? Karena aku yang jadi saksi anak itu dari awal mendaftar hingga akhirnya resmi menjadi santriwati.

Aku masih dalam pengabdian saat Difah kelas enam SD. Beberapa kali Ibu mengajakku dialog soal pondoknya nanti. Jujur, aku tidak terlalu berharap dia masuk pondok yang sama denganku. Kenapa? Ya gak pengin aja. lagipula saat itu aku juga masih bingung antara melanjutkan mengabdi atau pindah. Kalau aku menetap, selesai urusan. Karena aku bisa dipercaya mengawasinya selama mondok. Berbeda kalau pindah, bakal sulit karena rumah jauh dari pondok dan juga belum yakin akan ke mana. Jadilah aku sibuk mencari info-info kampus baru,

Sebenarnya aku sudah mencari info beberapa pondok lain, supaya ada variasi di antara kami. Kalau bisa yang lebih dekat daripada Solo, supaya lebih mudah dikunjungi. Tapi apalah daya, ujung-ujungnya Bapak Ibu memilih pondok ini juga. Ketika aku menanyakan alasannya, jawaban mereka klise: Ta’mir itu termasuk pondok modern yang murah dibanding pondok-pondok modern lainnya di tanah Jawa. Persis seperti delapan tahun lalu, saat mereka memilihkanku pondok ini. Tidak lebih dan tidak kurang.

***

Hari itu —aku lupa tanggal berapa- Bapak dan Difah datang jauh-jauh dari Bekasi untuk pendaftaran sekaligus tes penerimaan. Gara-garanya info yang bilang kalau kuota terbatas 80 orang dan tutup pada akhir bulan April. Kasihan sebenarnya kalau begitu, calon santri yang jauh jadi terpaksa susah payah menempuh perjalanan hanya untuk keperluan yang sehari jadi. Entahlah, aku sendiri juga gagal paham mengapa sistem penerimaan santri baru di pondokku ini makin lama makin repot. Namun aku terus membujuk mereka supaya mau mengantar Difah langsung ke pondok, jadi aku sekalian mudhifah. Dasar, ada maunya… hhaha..

Kebetulan siang itu aku ada jadwal mengajar siang di kelas 1. Tiba-tiba aku mempunyai ide untuk membawanya turut masuk ke kelas yang aku ajar. Kukira dia bakal menolak karena sungkan, ternyata tidak sama sekali. Mungkin pikirnya itu bagian dari pengenalan pondok. Difah cuma berdiri di depan mereka sambil senyum-senyum ga jelas –ga tau mau ngomong apa-. Malah aku yang jadi grogi karena anak-anak jadi banyak tanya, duh… kapok.

Beberapa saat berselang, aku mantap dengan niatku pindah setelah pengabdian. Tujuanku tidak tanggung-tanggung, bukan Solo atau Jogja, tapi Mesir. Sama sekali gak dekat dengan rumah siapapun. Itu berarti, resikonya Difah bakal sendirian di pondok dan jarang dijenguk. Berulang kali aku meyakinkan orangtua bahwa dia akan baik-baik saja. Sebagaimana kreatifitas, kemandirian tidak akan terbentuk tanpa latihan, kan? Jadi menurutku, dengan tinggal sendirian di pondok, dia harusnya bakal jadi lebih tangguh dan tahan banting.

Aku masih ingat cerita Ibu yang menganalogikan santri dengan pohon pisang. Kata beliau, setiap pohon pisang dewasa memiliki “anak” berupa tunas (bakal) pohon pisang kecil-kecil di bawahnya. Mereka harus dipotong dan dipindahkan ke tempat yang baru, karena mereka tidak akan bisa berbuah jika tidak dipisah dari induknya.

Ketika anak pohon itu dipotong, ia akan mengeluarkan getah yang sangat banyak, seolah-olah sedang kesakitan. Namun begitu ditanam di tempat yang baru, ia akan beradaptasi dan hidup mandiri, sehingga dapat tumbuh besar dan menghasilkan buah sendiri.
***

Sampai akhirnya datanglah hari kedatangan santri baru di pondok. Agak kikuk juga bertemu dengan para ustadzah dan santri-santri yang dulu kukenal. Ternyata kembali ke pondok  sebagai orang asing—bukan siapa-siapa lagi- itu rasanya aneh.

Hari itu berjalan biasa untuk Difah, mengurus administrasi, menata barang-barang, mengukur baju, sampai orientasi awal anak-anak baru. Baru pada sore harinya, ketika orangtua pamit akan balik, Difah menghambur ke Bapak dan tiba-tiba menangis. Tapi Bapak malah tertawa, seperti sudah sering menghadapi hal seperti ini, dan berkata menghibur,


“Kan Mbak Latif masih di sini..”


“Iya tuh, kan masih ada Mbak Latif.. kalau butuh apa-apa tinggal bilang..” kata Ibu menegaskan sambil mengusap-usap kepalanya.


Berbeda dengan Difah, aku termasuk orang yang sangat cuek dan tidak mudah mengekspresikan perasaan, Tapi melihat pemandangan yang seperti drama itu mau tidak mau aku jadi agak tersentuh juga. Aku jadi membayangkan bagaimana aku akan pamit kepada Bapak Umi ketika hendak pergi ke Mesir nanti. Melankolis.


Jadi begini ceritanya, beberapa waktu yang lalu, biidznillahaku lolos seleksi penerimaan mahasiswa ke Mesir. Selama liburan panjang kemarin pun aku sudah mengurus banyak hal terkait pemberkasan. Semuanya sudah lengkap, tinggal menunggu pemberitahuan jadwal keberangkatan. Nah selama itu, aku akan tinggal di rumahnya ust. Halim. Di sana aku mengaji, belajar, dan membantu apapun yang aku bisa. Sekalian membereskan beberapa urusan yang belum selesai. Sekalian menjaga Difah selama beberapa hari awal dia di pondok, ngemong, kalau kata orang Jawa.


Beberapa hari berlalu seperti biasa. Difah mendatangiku setiap ada keperluan. Kadang aku yang ke kamarnya di lantai empat untuk mengambil sesuatu. Pernah suatu ketika aku hendak menemuinya, tapi ia tidak ada di kamar. Kutanya teman-temannya, tapi mereka tidak ada yang tahu. Akhirnya aku meminta tolong ukhti bagian penerangan untuk menyuruhnya ke ghurfah dhiyafah. Tentu saja anak itu datang. Begitu melihatku, ia bersungut-sungut kecewa. Katanya, teman-temannya sampai heboh mengabari dia mudhifah. Secara rumahnya jauh, jadi kabar dari bagian penerangan tentu saja baginya terasa luar biasa.


Aku sering meminta Difah cerita soal teman-teman barunya, gurunya, atau hal-hal yang menurutnya menarik. Bagian yang paling kusuka adalah ketika dia bercerita tentang guru-gurunya yang hampir semuanya mengenaliku. Hhaha…iyalah, aku kan sudah tujuh tahun di pondok.


Kukira dia sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, karena dia tidak pernah menangis atau meminta pulang. Keluhannya cuma sekitar hal-hal kecil seperti masalah jatah makan yang kehabisan, atau bel yang sudah berbunyi padahal dia belum sempat mandi. Aku sih, hanya memberi saran sekenanya. Yaa, gak jauh-jauh dari pengalaman mondok dulu laah...

*bersambung ke bagian 2*

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..