Ketika Anak Introvert Diberi Kekuasaan

Sabtu yang mendebarkan, karena pertama kalinya kegiatan diskusi (bahasa kerennya: kajian ilmiah) yang saya urus memulai kegiatannya untuk pertama kali. Rasanya sibuk, lelah, cemas kalau-kalau nanti sedikit yang datang. Seolah saya menjadi satu-satunya yang bertanggung jawab terselenggaranga acara ini. Masalahnya, saya termasuk orang yang kadang terlalu realistis, hampir pesimis untuk urusan mengajak orang. Apalagi diajak untuk hal yang mungkin bukan passion nya sama sekali.

Dari dua puluhan orang, kurang dari sepuluh yang saya kirimi pesan pribadi WA: undangan untuk datang, dan apa yang harus disiapkan berupa materi presentasi.

Huft, sumpah. Ini pertama kalinya saya melawan kecenderungan diri saya untuk..,  apa ya.. untuk acuh tak acuh. Cuek. Bagaimana ya, saya mudah sekali merasa terbebani oleh hal-hal yang sebenarnya bukan urusan saya. Parahnya kadang saya sampai merasa frustasi. Huft...

Ketika akhirnya saya benar-benar dipercaya sebagai koordinator kegiatan diskusi kami, saya bingung apakah harus kecewa, sedih, atau justru senang??
Ya, seumur hidup, baru kali ini saya merasa dianggap. Merasa dipercaya. Merasa.. Bahwa ini bukti saya pernah mampu mengendalikan orang (halah. Pokoknya kalau dalam bahasa Inggris8 kurang lebih seperti "manage").
Ini pertama kalinya saya merasa punya power, dan mereka mengakui power saya itu.

Mungkin terdengar lucu. Tapi bagi orang yang selalu jadi nomor sekian, ketika keberadaannya diakui, itu rasanya luar biasa. Dan saya termasuk golongan orang-orang semacam itu. Orang menyebutnya: introvert.

Saya dari dulu, sejak zaman SD sampai pondok, jangankan berpengaruh, diingat kadang tidak. Saya yakin, jika seluruh diari teman-teman sekelasku dibaca, dipastikan tidak ada namaku yang nyangkut disitu. Saking gak ada kenangan tentang saya yang bisa diingat.

Dari dulu saya dikenal sebagai pribadi yang walaupun baik tapi tertutup. Tidak banyak orang yang kenal saya secara pribadi. Entah ya, saya terlalu minder untuk urusan bergaul dan ngeksis di kalangan teman-teman. Takut salah. Takut ditolak. Apalagi di hadapan mereka yang berpengaruh, tambah ciut saya. Pokoknya, payah lah. Sama sekali tidak dikenal, apalagi populer.

Sampai urusan cowok sekalipun, saya tidak punya teman satu anak laki-laki pun hingga lulus pondok (kecuali teman SD), sementara teman-teman sekelas sudah biasa sms-an dengan teman laki-laki mereka, bahkan ada yang sampai gonta-ganti pacar -padahal peraturan di pondok aslinya melarang pacaran kan-.

Dan sekarang, saya diberi amanat, yang kadang bisa diartikan: kekuasaan. Sesuatu yang bagi saya merupakan hal yang baru dan luar biasa. Tiba-tiba saya dikenal oleh orang yang belum saya kenal. Tiba-tiba jadi tempat teman-teman -sesama anggota- bertanya, minta izin, sampai kadang curhat mengenai kondisinya.

Tentu saja, ini pelajaran buat diri saya sendiri. Saya yang dulu berpikir hanya tentang kepentingan pribadi, kini dipaksa untuk memikirkan  orang lain, mengatur jadwal kegiatan ini, memahami para anggota dengan karakter mereka masing-masing. Menahan ego yang meledak-ledak, mengatur emosi agar tetap stabil, itu sulit sekali buat seorang introvert seperti saya, yang terbiasa melamun dan hanya memikirkan diri sendiri.

Walaupun akhirnya yang datang hanya sedikit, namun saya bersyukur acara bisa berjalan lancar tanpa hambatan. Sambil menulis ini, saya jadi terpikir satu hal. Seorang introvert pun punya hak untuk berlatih menjadi pemimpin. Kamu pasti bisa, Latif..


#buat teman-teman HIWAR Ein-Nouza, sebenarnya saya bingung mau ngambek kesal apa berterima kasih. T.T
Saya cuma bisa berdoa, semoga kita tidak saling menyusahkan yah. Hhehe.

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..