Siapa Nama Ibumu?

Kali ini saya ingin mengenang para wanita di atas saya. Para ibu yang menurunkan ibu lagi hingga lahirlah saya. Tapi sedihnya, karena keluarga saya orang biasa saja --bukan konglomerat atau darah biru, jadi tidak ada tradisi mencatat garis keturunan. Maka terhentilah pengetahuan saya hanya pada wanita dua generasi di atas saya. Ibuk dan mbah putri.

Iseng saya tanya Ibuk lewat wasap. Buk, waktu Ibuk lahir, masih ada nenek gak? (yang berarti simbah buyutku)

Kata Ibuk. Waktu Ibuk lahir masih kayaknya. Tapi nenek yang dari bapak meniggalnya waktu Ibuk masih balita, Ibuk lupa-lupa ingat. Kalau yang dari emak meninggalnya waktu Ibuk sekitar SD.

Ya Allah. Saya baru tahu ibuku tidak sempat merasa punya nenek, karena sudah ditinggal mbah dari kecil. Apalagi gak ada bukti foto.

"Nama beliau siapa ingat gak buk?" Tanyaku mengejar.

"Nenek dari bapak namanya Mbah Sar. Kalau gak salah panjangnya Sarmini. Nenek dari emak namanya Mbah Sumijah. Entahlah ibuk lupaa."

Mendadak saya menyesal baru menanyakan ini setelah saya besar dan ingatan ibuk sudah buram. Tadinya mau tanya nenek atasnya lagi (yang berarti simbah buyutnya ibuk), tapi pasti Ibuk gak akan tahu.

Tidak apa-apalah. Setidaknya sekarang saya bisa membayangkan wanita-wanita tersebut ketika hidupnya sibuk dengan mengurus sawah dan bercocok tanam. Memasak untuk nenek dan kakekku yang saat itu masih anak kecil. Mereka pasti tidak menyangka keturunannya sekarang ada yang sekolah sampai luar negeri.

Saya membayangkan raut senang mereka ketika dikirimi Alfatihah dari cicitnya.


_________

Penyebab saya terpikir para mbah putri buyut ini dimulai saat saya ziarah makam ahlul bait beberapa hari lalu, dan mendapati ternyata banyak yang Sayidat (perempuan). Mulai dari Sayidah Nafisah, Sayidah Fatimah, Sayidah Aisyah, Sayidah Zainab, Sayidah Tsana, Sayidah Ruqayah, Sayidah Sukainah, dan masih banyak lagi (radhiyallahu anhunna).

Di samping nasab yang mulia, mereka beruntung karena ada yang merekam nama mereka dalam garis keturunan. Orang mengenang mereka dengan nama asli, menyebut sirah dan fadhilah mereka sebagai diri mereka sendiri.

Tentu saja ini berkah dan hikmah dari diturunkannya seluruh keturunan Baginda Nabi hanya melalui seorang putrinya, Sayidah Fatimah Azzahra. Dari keturunannya, nama-nama perempuan generasi di bawahnya dimuliakan setara dengan laki-laki.

Tadinya mau nulis agak feminis, mempertanyakan tradisi keluarga lain yang mencatat hanya laki-laki. Nama asli para ibu terlupakan bahkan sejak mereka lahir, disebut sebagai Putrinya ...... (nama bapak). Kemudian setelah menikah, dipanggil menjadi Bu ...... (nama suami), lalu setelah punya anak, dikenal sebagai Ibuknya ....... (nama anak). Gak di Mesir gak di Indo sama saja. Cuma keturunan Nabi atau keturunan para raja saja yang bisa mempertahankan nama asli.

Anjuran berbakti pada ibu sudah lama dilaksanakan. Tapi saya kira, nilai perempuan sudah terlalu lama 'melangit' saja. Dijamin surga jika ia menjadi ibu yang baik, dan dijanjikan pahala bagi yang berbuat baik kepadanya. Itu semua kan serba langit. Sedangkan 'membumi' nya cuma sekian tahun sebatas umur hidup.

Bukan bermaksud mengecilkan gelar ibu. Saya hanya ingin para ibu tidak kehilangan dirinya hanya karena berkeluarga. Saya juga ingin tetap dikenang sebagai saya sendiri. Mencatat nama asli saya agar diingat cucu-cicit (kalau Allah berkehendak)


Kepada Siti Muhanik ibuku, doa terbaik Latifah selalu untukmu.


Kairo, 22 Desember 2019

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..