Segenggam Syukur Dina
Sumber foto: beautifus.co |
“Tapi kaaak, aku gak mauu.. Aku gak
mau jadi terlihat berbeda, aku malu.”
“Gak papa, Na. Orang lain tak kan
ada yang peduli.”
“Gak mungkin, Kak! Ini terlihat
jelas, orang lain pasti menyadarinya.”
Bujukan Kak Rin lagi-lagi tidak mempan. Beliau
adalah kakak sekamarku, dan kami berdebat karena aku minder dengan bekas
jahitan di wajahku yang berjumlah tiga garis. Yang paling panjang bentuknya seperti cacing yang timbul
dari dalam kulitku, membujur dari pelipis kiri hingga pipiku. Yang lainnya terdapat
di dahi menyeberangi mata kiriku, dan terakhir melengkung di bibir hingga dagu. Sekilas
aku terlihat seperti boneka horor Chucky.
"POKOKNYA DINA GAK MAU KELUAR RUMAH!"
Di dalam kost yang mayoritas
penghuninya adalah kakak senior, aku yang belum tinggal setahun ini jadi merasa seperti anak bungsu: manja dan
tak mau mengalah. Kecelakaan yang aku alami dua minggu lalu meruntuhkan mood
ku untuk keluar rumah. Jangankan untuk hang out, untuk kuliah saja aku
belum mau.
“Dengarkan kakak. Dulu, sewaktu
masih di asrama, kakak punya seorang teman yang tidak punya tangan kiri sejak
lahir. Ketika kami semua masih menjadi anak baru, dia selalu menggunakan tangan
palsunya.
“Hingga suatu hari, saat kami semua
sudah seperti saudara, teman kakak ini sedang malas menggunakan tangan palsunya.
Ia tiba-tiba berdiri dan berkata,
‘Hai semua. Lihat deh, ada yang beda
gak dari aku?’ Kak Rin mengubah nada bicaranya, menirukan temannya.
“Kakak dan teman lainnya yang sedang
berada di dalam kamar heran dan bingung.
‘Apanya yang beda? Biasa aja, ah.’
‘Iiih, lihat deh. Ini tangan aku.’ Katanya
santai sambil melambaikan tangan kirinya yang terlepas.
“Baru di sana kami menyadari tentang
perbedaan kami dengannya. Sebelumnya? Tidak ada seorangpun yang
menyadari itu.
“Namun setelah kejadian itu, semua
berjalan seperti biasa. Tidak ada yang pernah keberatan dengan kelainan fisiknya.
“Karena apa? Ya tentu saja, karena mereka
yang sayang denganmu tidak akan pernah melihat kekurangan. Karena teman yang
sesungguhnya tidak ingin membuat temannya merasa dikucilkan. Kalaupun ada yang
memandang dengan sebelah mata, lalu meninggalkan, pahamilah kalau mereka memang
bukan teman terbaik untuk kamu.”
Aku manggut-manggut takjub dengan
cerita Kak Rin. Hanya saja, masih ada yang mengganjal pikiranku.
“Tapi Kak, itu kan cuma tangan. Gak semua
orang memperhatikan. Lah ini wajah, kak. Semua orang kalau mulai berteman pasti
yang diingat wajahnya dulu, bukan bentuk tangannya!”
Kak Rin tampak tenang, ia tersenyum
kecil. Tampak seperti sudah biasa menghadapi bocah sepertiku. Gadis berkacamata
itu meraih jemariku dan meletakkannya di atas telapak tangan kirinya. Kemudian
dengan satu hentakan pelan, ia menarik kembali tangannya yang ternyata hanya
sebatas siku.
Aku terkejut, baru tersadar kalau tangan
yang aku genggam ini kaku dan dingin. Ternyata teman yang diceritakan Kak Rin barusan adalah dirinya sendiri.
“Kamu kira tidak punya tangan itu
mudah, Na? Salah. Tangan palsu sebagus apapun tidak akan pernah bisa menggantikan tangan yang asli. Kakak
terlihat biasa, karena sudah sepuluh tahun kakak hidup dengan tangan palsu itu.
Kamu harusnya bersyukur. Walaupun mengalami kecelakaan dan wajahmu dijahit, tapi
kamu masih bisa melihat, mendengar, berbicara…”
Kali ini aku tidak ada bisa
menyanggah lagi.
------
Kairo, 28 Januari 2017
.
.
.
Fun fact:
a. Cerita mini ini terinspirasi dari salah satu postingan di blognya Alvira
b. Awalnya saya cuma suka prolognya, tapi kemudian terpikir untuk memodifnya sedikit menjadi sebuah cerita mini.ππ
c. Kenapa mini? Karena memang belum cukup panjang untuk disebut sebagai cerpen. Hehe.. Sudah habis pikiran saya untuk memikirkan cerita supaya jadi lebih panjang lagi.
d. Apalagi ya? Yaa semoga saja bisa nulis fiksi lebih banyak lagi. Amiin.πππ
------
Kairo, 28 Januari 2017
.
.
.
Fun fact:
a. Cerita mini ini terinspirasi dari salah satu postingan di blognya Alvira
b. Awalnya saya cuma suka prolognya, tapi kemudian terpikir untuk memodifnya sedikit menjadi sebuah cerita mini.ππ
c. Kenapa mini? Karena memang belum cukup panjang untuk disebut sebagai cerpen. Hehe.. Sudah habis pikiran saya untuk memikirkan cerita supaya jadi lebih panjang lagi.
d. Apalagi ya? Yaa semoga saja bisa nulis fiksi lebih banyak lagi. Amiin.πππ