Tholabul 'Ilm: Usaha Belajar VS Berkah Khidmat


Guru kami, Syekh Husam Ramadan, pernah mengatakan, belum dikatakan pelajar sungguhan kalau belum pernah insomnia karena suatu masalah yang belum selesai dipecahkan. Lha kita, cuma baca kitab aja ketiduran.

Ilmu Laduni, atau yang lansung diilhamkan Allah itu memang ada. Tapi ada syaratnya, dan jangan merasa berhak diberi, itu takabur namanya. Kata guru kami, ilmu itu hakikatnya buruan berat. Kita kerahkan seluruh diri saja, dapatnya hanya sebagian. Apalagi kalau hanya mengerahkan sedikit dari diri? 

Belajar ilmu agama itu, tidak cukup hanya mengandalkan berkah adab dan khidmat lalu berharap dapat ilmu laduni tanpa capek-capek mikir. Lha kok enak? Ndak bisa begitu. Ilmu agama itu berat. Usahanya harus kencang, otak dan badan harus lelah. Tidak mungkin santai-santai meminum air bekas gurunya lantas mendadak jadi alim.

Masalahnya, ada kecenderungan orang belajar agama (atau mengirim anaknya belajar) merapat pada tokoh yang dikenal keramat, baik itu habib maupun kyai, berharap mendapat ilmu lewat jalur berkah. Lalu menganggap yang sekolah formal atau kuliah kurang memadai karena tidak ada tokoh keramat di sana.

Khidmat kepada orang alim saleh tentu baik dan ganjarannya besar. Tapi belum tentu balasannya pasti berupa pemahaman atas ilmu yang dimiliki orang alim saleh tersebut. Sementara orang yang belajar keras dari seorang guru, meskipun mungkin mencium tangan gurunya saja tidak sempat, tentu ia akan memahami ilmu yang diajarkan.

Kealiman para ulama lebih banyak didapat dari usaha proses belajar yang keras, serta materi yang runut kronologi, peta besar dan metodologinya. Bukan karena ia anak siapa atau pernah nyiapin minuman siapa. Kalaupun ada hubungannya antara khidmat dengan keilmuan, itu pasti karena seringnya interaksi yang berbobot. Keseringan nguping matan, jadi hapal. Pernah diminta tolong bacain, jadi ngerti.

Mungkin ini yang membuat pesantren secara umum lebih unggul daripada kampus islam di Indonesia. Bukan karena kyainya, melainkan karena di pesantren murid belajar dari dasar, pondasi dalamnya kokoh dulu, merasuk ke dalam dulu baru melihat ke luar. Sementara di kampus kadang studinya langsung menjadikan ilmu agama sebagai objek di luar diri, yang dibedah diteliti, kadang mengabaikan pondasi awal yang harusnya jadi pisau bedahnya. Kalau mahasiswanya gak mandiri belajar ilmu dasar dan alat, ya pasti berantakan. Jadi kampus kalaa karena gak runut ilmunya, bukan karena gak ada kyai besarnya.

Ilmu memang karunia Allah. Tapi berlaku hukum alam (sunnatullah), bahwa orang belajar sungguh-sungguh, akan berhasil paham. Orientalis non muslim saja bisa hapal quran dan kitab hadis, padahal niatnya boro-boro ngalap berkah, lillahi ta'ala saja tidak.

Para ulama zaman dulu belajar langsung dari para tabi'in, kurang dahsyat apa itu berkah jalur langsung ke sahabat dan Nabi. Tapi ternyata mereka gak ada yang cuma khidmat keperluan gurunya. Mereka pasti usaha menghapal, setoran, dan koreksian juga. Membaca mutholaah lalu murojaah, yang semuanya memeras otak habis-habisan.

Jangan sangka semua pelajar di masa salaf itu asal hadir majelis pasti lulus jadi ulama, tentu tidak. Malah karena standar yang tinggi, hasilnya banyak juga murid yang gak sesuai standar. Sebagian contoh di antaranya dibahas di jarh wa ta'dil.

Usaha itu harus, berkah itu bonus.

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir