Saat Aku Mendoakan Orang Lain

Dulu, setiap hari aku menyebut paling tidak lima sampai sepuluh nama orang terpenting, dalam tiap kesempatan berdoa. (Selain orang tua tentu saja, kalau untuk mereka sih permanen).

Nah 'durasi' tiap nama yang didoakan ini beda-beda, ada yang beberapa bulan, ada yang bertahun-tahun, ada yang sesuai reques. Banyak yang terkabul, tapi banyak juga yang tidak.

Sekitar sebulanan ini, aku tidak menyebut nama banyak orang lagi. Kecewa karena banyak yang tidak terkabul.

Baru-baru ini diingatkan, kualitas doa seseorang itu, tiada manusia yang bisa mengukurnya. Doa yang terkabul belum tentu lebih tulus ikhlas daripada yang tidak.

Iya juga sih. Tiba-tiba aku berharap, ada bagian dari doa-doa itu kembali padaku seperti siklus hujan. Apa itu berarti aku tidak ikhlas? Entah. Lagi berharap doa saja dari siapapun

Doa hanyalah cara Tuhan menitipkan kasih sayangNya kepada hati manusia

Yang dengannya mereka mengasihi sesama tanpa perlu bersentuhan. Tak butuh syarat apapun. Gerak pelan dari lubuk kalbu paling dalam sekalipun, Tuhan mampu mendengarnya

Penuh pengharapan. Pengampunan. Terlebih jika ada kasih sayang bahkan cinta di dalamnya. Doa-doa semacam itu menembus langit dengan sangat mudah

Tapi, doa yang menembus langit belum tentu terkabul sesuai permintaan ya?

Kalau nanti mereka mendapat nasib baik, tak perlu aku kebagian efeknya. Mereka hidup dengan baik, ya aku ikut senang toh

Masalahya. Aku terlalu banyak mengharap yang terbaik untuk orang lain, sampai aku tidak berharap untuk diri sendiri

Aku selalu bilang, tak apa lambat yang penting bergerak

Ternyata begini rasanya tak bisa bergerak tuh. Ah betapa aku kurang berempati dulu.... tuh kan jadi menyalahkan diri sendiri. Padahal memang baru belajar

Aku selalu mendoakan keberuntungan, keselamatan, dan kebahagiaanmu.

Sampai aku lupa apakah aku berhak atas doa itu juga

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir