Tantrumnya Anak (yang sudah) Besar

Akhir-akhir ini, karena mempelajari sedikit tentang parenting, apa saja masalah manusia, mau akademik, sosial, finansial, sampai cinta, kuhubungkan akar dan solusinya dengan analisa parenting.

Dari lingkungan seperti apa dia dibesarkan. Bagaimana kira-kira orangtua atau orang terdekatnya memperlakukannya. Pengalaman apa yang membekas di dirinya sampai menjadi seperti itu. Yah gitu-gitu lah, walau jatuhnya jadi lebih mirip cocoklogi, sih.

Satu contoh, kejadian beberapa hari yang lalu.

Salah satu anak didikku tantrum, karena marah setoran tahfiznya terus menerus kukoreksi. Dia masuk kamar mandi, mengunci menangis meraung sambil membanting-banting gayung di air selama hampir satu jam.

Sebabnya, hapalan yang kukoreksi ini adalah setoran remidinya. Dan sudah remidi ini saja dia telah membuat kesalahan di setiap ayat, dikoreksi diulang, salah di huruf lain. Satu lembar berlalu dengan setiap ayat terbaca paling tidak tiga kali.

Sampai pada satu ayat yang terus-menerus terbalik-balik, tidak kuhitung berapa kali terbaca ulang. Anak ini geram, memukul-mukul lantai. Setiap kali kukoreksi, setiap kali itu juga hapalannya buyar. Suaranya lama-lama berubah parau karena menangis.

Kuminta dia berwudlu. Maksudku agar kemarahannya mereda. Tapi siapa sangka malah tantrum mengamuk sendiri gitu. Semua orang di asrama bisa mendengarnya, dan ikut merasa risih dengan energi negatif yang memancar kuat itu.

Setiap ada yang bisik-bisik tanya kenapa dia, kujawab dengan ketawa kecil "kubuat nangis", biar mereka gak suuzon. Padahal dalam hati aku risau juga, anak ini sudah dewasa, sudah usia 20 tahun, kok tantrumnya kayak masih SD. Ada masalah apa?

Anak ini memang biasa dapat nilai kurang di tahfiznya, tapi dia sepertinya gak terima, setiap kali kuberi nilai C (yang artinya: kurang baik) dia merengut kesal. Pernah dia mengadu pada orangtuanya. Tapi bukannya menghibur atau menenangkan, orangtuanya pun tidak berpihak padanya. Memarahinya karena "begitu saja kok ngeluh". Guru yang lain bahkan ada yang menuduhnya kurang ibadah, makanya susah fokus. Hatinya kotor, makanya Alquran gak mau masuk.

Padahal dibilang dia kurang usaha tuh gak mungkin. Aku menyaksikan anak ini bangun paling pagi dan mengaji paling banyak dari teman-temannya yang lain. Dia juga hampir tidak pernah jajan, begadang, atau main hape. Dia adalah anak yang rajin ibadah dan kuat menahan susah jenuhnya menghapal.

Jadi aku sedikit memaklumi kenapa dia menyalah-nyalahkan diri sendiri terus setiap kali hapalannya gak sesuai harapannya. Tapi di sisi lain aku gak bisa menolerir kesalahan bacaan qurannya yang selalu berbeda tiap kali dia mengulangnya.

Aku masih menduga beberapa faktor penyebab ingatan jangka pendeknya jadi sangat buruk, fokusnya mudah pecah, sekaligus punya issue di kepribadiannya.

Pertama, di usia tujuh tahun kepalanya pernah terbentur dan bocor sampai punya 40 jahitan. Dia menceritakannya dengan santai, aku yang terkejut setengah mati. Aku merasa ini bel besarnya, asal dari segala masalah dia. Kalau sampai separah itu di usia semuda itu, sangat mungkin struktur otak bagian memori dan kontrol emosi ada yang rusak berat.

Kedua, dia anak sulung yang tertutup secara emosional dengan orangtuanya. Mungkin karena terbiasa disuruh mengurus adik-adiknya, sehingga dia jarang ditanya secara khusus apa keinginan dan kebutuhannya. Karena dianggap bisa semuanya sendiri, orangtuanya abai dengan hal-hal kecil yang seharusnya sudah jadi pertanda kalau dia "gak baik-baik saja".

Dua hal (praduga) ini cukup membuatku kasihan padanya, dan bertahan menyimak setorannya-- yangmana sering bikin asam lambungku naik mendadak. Tapi sayang, dia tidak mengasihani dirinya sama sekali, (terutama karena orangtuanya tidak pernah memberinya itu) dan terus terusan membandingkan dirinya dengan teman-temannya lalu berakibat membenci dirinya semakin parah.

Sampai saat ini, aku tidak melakukan apa-apa selain bilang: gak papa, itu bukan salahmu. Sambil berdoa semoga dia diberi sabar. Sebenarnya, idealnya dia pergi ke psikolog dan mengikuti terapi rutinan. Tapi masalahnya orangtuanya bukanlah kalangan yang mampu dan mau anaknya ke psikolog.

Lah gimana, mengasihani anaknya saja jarang. Aku bahkan yakin kalau orangtuanya tidak pernah tahu kalau anak mereka bermasalah secara akademis dan sosial sekaligus. Makanya aku tidak merasa berhak melaporkan apapun, bisa-bisa dituduh sok tau lah, suuzon lah, fitnah lah, duh enggak dulu deh.

___________

Curcol 19 Februari 2022

CN Latifah

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir