Pembeda Santri Pondokan dari yang Bukan

Ini komplek asramaku waktu nyantri dulu


Aku ingat waktu umur 7 tahun pernah diajak berkunjung ke pesantren tempat ibukku dulu nyantri. Sebuah pesantren yang cukup besar di Jawa Timur, dan aku masuk ke rumah-rumah bagus. Belakangan kuketahui ibuku dulu seorang abdi ndalem, dan yang kukunjungi adalah keluarga ndalem tempat ibuku berkhidmat.

Jauh sebelum itu, bapak beberapa kali membawaku ke pesantren tidak jauh dari rumah. Aku belum sekolah waktu itu, cuma ingat menunggu bapak sambil main ayunan. Ustadznya senang melihatku yang masih kecil tapi ngajinya sudah quran (aku pamer sudah tamat iqra). Beliau menghadiahiku mushaf quran per-juz dan mendoakanku bisa menghapalnya. Pertamakali kulihat mushaf terpisah-pisah seperti itu. Tahun 2000 kayaknya masih jarang orang punya mushaf per juz.

Hidup menyaksikan santri sejak kecil, membuatku tidak menyadari elemen muslim selain santri sampai dewasa. Penyebabnya karena keluargaku, lingkungan, tempat tinggal, eman mainku, homogen, itu-itu saja. Sounding (talqin) dari orangtua juga terlalu kencang "besok kamu nyantri".

Saking tertanam di mindset, sampai-sampai dulu kukira semua muslim itu ya lazimnya nyantri. Karena semua orang nyantri, ya aku juga dong. Aku mantap menjawab lanjut ke pesantren setelah SD, bukan karena pertimbangan sendiri, tapi ya karena gak terpikir opsi lain sama sekali.


Waktu tes penerimaan pondok dulu, di sesi wawancara, ustazahnya menanyaiku "masuk pondok keinginan sendiri atau orang tua?"

Aku bingung menjawab apa, karena setahuku, mana mungkin ada yang sengaja gak mondok sejak awal? Bayanganku saat itu, mereka yang sekolah umum hanyalah orang yang udah nyoba mondok tapi gak kuat.


Tidak menafikan orang yang gak nyantri sih. Hanya saja dulu aku menganggap pesantren adalah pendidikan utama, dan sekolah umum atau madrasah (yang gak nginap) itu hanya alternatif. Malah aku kasian dengan teman-teman yang gak sanggup bertahan di pondok, karena mereka berarti 'tersesat'. Sedangkan kami yang bertahan adalah kami yang 'selamat'.

Astaga, ternyata aku dulu berpikir seperti pendeta ya. Hahahaha

Semakin bertambah usia, semakin bertemu dengan orang-orang, barulah aku sungguh mengerti bahwa muslim sejati gak harus santri Santri bagi sebagian kalangan adalah "liyan". Nyantri sampai sekarang masih dianggap "alternatif", terutama bagi kaum urban menengah ke atas. 

Ditambah, lembaga pendidikan model pesantren ternyata hanya ada di Asia Tenggara. Di Mesir saja sekarang sudah tidak ada. Kalo dulu mah pernah ada, waktu pengajaran Al-Azhar masih terpusat di masjid, ada pelajar yang tinggal di ruwaq-ruwaq. Ternyata santri itu, walaupun mengisi seluruh circle saya, tetap saja minoritas.

Karena baru menyadari 'minor'nya status santri ini, maka saya jadi penasaran untuk terus mencari ciri pembeda (tamyiz) santri dari yang bukan santri melalui bukti empiris. Terutama tentang bagaimana cara berpikir mereka berbeda. Bagaimana menjadi santri membentuk sudut pandang. Pengaruh pengalaman mondok di kehidupan saat dewasa.

Apa yang kira-kira tidak didapatkan anak yang mondok tapi didapatkan oleh anak yang sekolah PP? Apa yang dikuasai santri tapi tidak dengan murid sekolah biasa? Terutama dari segi soft skill seperti cara pandang terhadap dunia, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, sampai Adversity Quotient (kecerdasan tahan banting).

Mengetahui ciri pembeda ini penting, untuk memahami apa peran istimewa yang hanya bisa (atau paling berhak) diisi oleh mereka. Sebab kalau hanya mengandalkan hardskill seperti praktek ibadah, bahasa Arab, menghapal Alquran, kukira itu mah bisa aja dilakukan oleh muslim yang tidak mondok.

Jangan sampai di setiap 22 Oktober, para santri hanya tahu membanggakan 'kehebatan' menyandang gelar santri, peran santri di masa penjajahan, tapi lupa untuk evaluasi diri: manfaat apa yang bisa mereka berikan dengan identitas santri tersebut.[]


___________

Tangsel, Hari Santri 2021

Choirotin N

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..