Inspirit Mode

(Refleksi Pribadi sebagai Pengagum Boygroup Infinite)




Kapan saja saya selesai ujian semesteran kuliah, cara mengembalikan mood untuk kembali beraktivitas lain adalah dengan menyalakan laptop dan melihat kembali video boyband Korea favorit. Namanya barangkali asing bagi penggemar K-pop sekarang: Infinite dari Woolim ent.

Saya punya banyak video Infinite dari berbagai segmen, mulai dari movie clip, live concert, dance practice, behind the stage, talk show, reality show sampai cuplikan kegiatan sehari-hari. Kalau kurang ya tinggal sambang Youtube. Meskipun saya punya puluhan lagu mereka di ponsel, namun menonton mereka punya kesan tersendiri. Dan kesan menonton inilah yang saya rasakan terus berubah, seiring bertambahnya usia.

Dulu pas masih SMA, saya mengidolakan mereka karena mereka keren banget. Persepsi saya tentang mereka tidak lebih seperti mengagumi robot rupawan dengan cap brand tertentu. Sebagaimana fangirl muda lainnya, waktu itu saya cuma takjub dengan 'kesempurnaan'.

Kalau saat ini, rasanya saya lebih menerima setiap pribadi mereka, dengan seluruh ciri khas dan kekurangan. Dulu selalu abai dengan dialog-dialog di antara lagu. Sekarang lebih sering terharu: ah ternyata dia bisa begini juga.

Saya jadi lebih emosional. Lebih berempati.

Bakat sebesar apapun akan lenyap jika tidak tahan banting dalam latihan super keras, bertahan dalam tuntutan tampil sempurna di hadapan jutaan pasang mata, dan sanggup menyesuaikan diri di bawah tekanan publik. Mereka adalah orang-orang yang kuat.

Saya mengenal Infinite pada 2014, selang setahun setelah mereka mengadakan tour konser keliling dunia. Dan sampai sekarang mereka masih aktif tampil dan mengeluarkan lagu. Yang mana untuk ukuran idol group di Korea, bisa bertahan sampai sembilan tahun debut merupakan hal yang jarang.

Rahasianya? Barangkali perubahan. Logo saja mereka perbarui di tiap album. Konsep mereka juga tidak pernah tetap, menyesuaikan umur para anggotanya (dan fans). Oh, dan juga menyesuaikan jumlah personil yang akan terus berubah, sejak satu persatu dari mereka mulai sekarang akan terkena wajib militer.

Itu pertama. Kedua, mereka dikenal tidak pernah lipsync. Saya sering mendapati suara vokal di tengah menyanyi live yang hilang karena terengah, tersedak atau menangis. Saat lupa lirik, ya terdengar instrumen saja yang mengalun. Salah masuk nada, ya udah wes. Waktu kebetulan serak, ya biarin. Begitu jujur. Tapi makin ke sini vokal mereka makin baik dan makin stabil, berkat kerja keras yang membuahkan hasil.

Saya mengikuti mereka dari jumlahnya masih bertujuh hingga kini berlima. Dari citra si visual L masih dituntut cool sampe sekarang sudah bebas jadi dirinya sendiri yang konyol. Dari sejak mereka masih imut-muda dan ga taunya sekarang sudah pada jadi pria dewasa. Baik vokal, kepribadian, akting, semua tidak lagi sama seperti waktu awal saya melihat mereka. Mereka bertumbuh. Begitupun saya. Kami seperti tumbuh bersama.

Infinite menjadi salah satu kegembiraan masa muda saya, yang tidak hanya cuma bernostalgia mengenang bagaimana bisa saya begitu senang hanya dengan melihat mereka. Namun juga menyaksikan bagaimana mereka juga berproses seperti seharusnya manusia.

Saat mereka tampil menyanyi dan menari, saya seolah mendengar perasaan mereka ketika saling memeluk setelah penampilan, ikut berseru gembira saat takjub dan kalau perlu menangis bersama waktu sedih. Bagi saya sekarang, menonton Infinite tidak lagi sekedar pertunjukan hiburan. Ia adalah panggung kemanusiaan.

Sarang hae ;)

______________________________

Kairo, 01 Juli 2019

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..