Narasi yang Tidak Sempat Keluar Suaranya

Beri perempuan pilihan, terserah dia mau bersuara atau tidak


Saya membaca opini Mang Maulana sejak awal mula di beranda status Whatsapp, beliau post dini hari dan kebetulan saya masih terjaga, jadi bisa langsung melihatnya (yang selanjutnya beliau jabarkan menjadi postingan di blog beliau.


Setelah membaca status beliau itu, tidak terasa saya menangis sesenggukan. Saya paham betul maksudnya Maulana, sebab setelah beliau bertemu komunitas perempuan cerdas dan vokal di luar sana, setelah membaca beberapa isu kesetaraan dan feminisme, beliau kemudian pasti ingin perempuan kita juga bisa sevokal itu. Saya suka bahwa Maulana menyadari bahwa menjadi vokal bagi perempuan itu keren, dan saya mengapresiasi kesadaran Maulana menemukan bahwa perempuan kita (khususnya masisirwati) masih sunyi.

Di saat yang sama saya juga tertampar. Saya merasa banget sebagai pihak yang disindir, karena saya sadar sedikit banyak saya udah punya bacaan, dan dalam beberapa topik lebih banyak tahu daripada yang lain. Tapi saya memang banyak diam.... karena terhalang apa yang orang bilang "insecure", yakni perasaan tidak yakin, tidak percaya diri, dan dibayangi ketakutan-kecemasan.

Saya lalu menangis karena sadar betul, insecure yang saya alami ada alasannya. Ada penyebab yang terlalu jauh akarnya. Ada kesalahan yang saking mendarahdagingnya, bingung harus dilimpahkan ke mana. Tidak sedalam masalah sistem patriarki atau ketimpangan relasi gender di masyarakat kita. Tanggapan dari sisi ini sudah diangkat saudari Nuansa Garini di blognya .

Melainkan lebih kepada, faktor-faktor pendukung (a.k.a privilese) bersuara yang tidak saya dapatkan. Sesederhana pola asuh yang kuterima saja, misal. Banyaknya hardikan dan hukuman membungkamku sejak kecil, membentukku agar menjadi anak yang penurut. Atau moral dari kultur (Jawa) tertanam berupa, mending ngalah demi menghindari perdebatan. Atau nilai konservatif di sekolah (pesantren) saya yang mengidealkan adab dan ketaatan untuk bisa naik kelas-lulus. Hingga keraguan bahwa usahaku untuk bisa bergaul melebur ke sana-sini bisa jadi buyar kalau saya terang-terangan menunjukkan identitas asli dalam bentuk ide dan pikiran.

Segala penyebab yang membuatku (dan mungkin sebagian teman perempuan lainnya) merasa tidak aman begini tentu saja nyata, sebagaimana perasaan ragu dan takut itu juga valid adanya. Tidak bisa diubah atau "dianggap tidak ada" begitu saja. Sebab memang faktanya, tidak semua anak beruntung mendapatkan kesempatan yang membebaskannya angkat suara. Sebagai "korban" struktural, tidakkah wajar dan dimaklumi, kalau saya belum bisa mengatasi akibat dari kesalahan masa lalu? Sakit sekali kalau hanya menyalahkan diri sendiri, hanya karena "belum cukup keras berusaha" melawan ketakutan untuk menjadi vokal.

Lagipula sebenarnya saya gak diam-diam amat. Memang kurang show up di internet sih, tapi saya pernah bersuara kok di dunia nyata. Itu aja masih banyak yang menganggap aneh, kalau tidak judgemental. Tempat teraman saya baru Instagram, di mana saya bisa menulis caption frontal, tapi full b.Inggris biar meminimalisir prokontra wkwk. Dan saya kira, tidak beropini di dunia maya adalah pilihan. Tidak vokal di media sosial bukan berarti abai atau lugu, bukan? Apakah tampil di dunia maya saat ini sudah jadi kewajiban tiap insan akademis? Apakah kehidupan nyata mesti tercermin dalam di dunia maya, termasuk aspek intelektual?

Jadi dalam menangisnya saya saat itu, ada tiga emosi bercampur jadi satu: terharu (karena ada laki-laki yang peduli suara perempuan), sedih (karena masalah pribadi), sekaligus marah (karena gak sepenuhnya terima dituduh diam). Rumit gak sih, itu?


Pada akhirnya, reaksi saya ternyata hanya menangis. Betapa emosional. Tapi saya justru merasa lega, sebab postingan Maulana dan Nuansa memancing reaksi yang tidak pernah saya duga bakal timbul dari saya sendiri, yang kemudian mempertemukan saya dengan titik terang dari sisi yang selama ini saya sangka gelap.

Terimakasih banyak.

_______
Kota Nasr, 11 Juni 2020
Choirotin Nurlatifah

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..