Ribetnya Berbohong dan Basa-basi Aneh Soal Status

Abaikan model manusia itu, lihat saja taksinya.

Hari itu pertama kalinya aku naik taksi sendiri H10-Darasa. Sendirian. Lewat seperempat perjalanan, Pak Supir bertanya apakah saya ingin jalur Sadis atau Shalah Salim. Saya memilih yang lebih cepat.

Setelah itu percakapan kami bermula. Pak Supir mengawalinya dengan kebiasaan basa-basi orang Mesir yang menurut saya ajaib, yaitu menanyakan status pernikahan mahasiswa asing.

Pak Supir: "Kamu sudah menikah?"

Latifah: "Belum." (Menggeleng)

PS: "Sudah tunangan?"

L: "Eh.. tunangan?"

PS: "Ya. Jadi seorang laki-laki sudah memintamu untuk jadi isterinya, dan kalian akan menikah setelah itu."

Duh sial. Saya juga paham, keles. Tapi tidak tahu mau menjawab apa.

PS: "Lho kenapa? Saya kan hanya bertanya kamu sudah punya tunangan atau belum?"

Eh gile, jawaban saya dikejar coba. Pak Supir tahu gak sih kalau pertanyaan semacam ini petaka buat jomblo tidak bisa dijawab dengan mudah. Pak supir ini tahu privasi gak, sih.

L: "Hmm... Belum juga."

Sebenarnya dalam hati agak was-was juga menjawab begitu. Tapi gimana lagi. Mau bohong bilang sudah menikah atau punya tunangan, saya gak punya cincin buat bukti palsu.

Masalahnya saya perempuan, sendirian, berdua saja dengan Pak Supir yang kelihatannya masih muda dan yang saat ini pasti berpikir bahwa saya gak punya siapapun pria sebagai pelindung. Langsung terlintas ketakutan akan dilecehkan, diculik, dan bayangan buruk lainnya. Aduh mana badan saya kecil pula. Bakal sulit kabur ini mah..

Woi Tip, jangan mikir aneh-aneh. Coba dulu usaha membela diri.

L: "Tapi Pak, saya sudah punya kekasih, walaupun memang belum tunangan."

PS: "Oh ya? Orang Indonesia juga?"

L: "Tentu saja."

PS: "Belajar di Al-Azhar juga?"

L: "Benar."

Sesaat saya merasa menang. Tuh dengerin, gue udah punya pacar... sambil dengan geli membayangkan beberapa teman Masisir yang saya kenal. Karena sudah pasti pertanyaan tentang kekasih itu berlanjut, jadi saya bisa ambil salah satu detail mereka. Biar gak keliatan pura-pura punya pacarnya.

Tapi ternyata kemenangan saya tidak berlangsung lama.

PS: "Tingkat berapa kuliahmu?"

L: "Sekarang tahun ketiga saya di Al-Azhar."

Saya tidak berbohong. Saya benar-benar masuk tahun ketiga di Mesir. Walaupun tahun pertama saya belum kuliah, melainkan di markas bahasa Al-Azhar. Jadi saat itu sebenarnya saya baru tingkat dua, tapi biar keliatan sebentar lagi lulusnya.

PS: "Kekasihmu?"

L: "Sama. Tahun ketiga juga."

PS: "Kalian akan menikah?"

L: "Ya. Tapi nanti setelah kami selesai kuliah."

Dalam hati saya meringis. Boro-boro nikah, pengen aja belum. Dan aduh, itu siapa pula sosok pacar imajiner.. kenapa aku harus jawabnya masisir seangkatan sih? Nyesel sendiri kan jadinya, takut kalau jadi kenyataan, *eh.

PS: "Kerja apa kekasihmu sekarang?"

L: "Dia tidak bekerja. Dia fokus belajar dan menuntut ilmu."

PS: "Bagaimana dia hidup? Darimana ia dapat uang untuk makan?"

L: "Dia dapat beasiswa yang cukup untuk biaya hidup dan makan sehari-hari. Tidak perlu kerja lagi, kan?"

PS: "Tapi kenapa kekasihmu tidak bekerja saja? Dengan bekerja kan dia bisa menabung uangnya. Dia bisa menyiapkan bekal untuk maharmu, nafkahmu, dan kehidupan kalian nanti."

Wadaw, kok sejauh itu. [Fun fact: mahar cewek Mesir luar biasa mahal.] 😆

L: "Itu nanti masalah gampang. Yang terpenting sekarang kami harus fokus belajar, supaya lulus tepat waktu dan dengan hasil sebaik mungkin."

PS: "Tapi bukankah ada orang-orang Indonesia yang juga belajar sambil bekerja di Mesir ini?"

L: "Kalau dibarengi kerja nanti gak fokus belajarnya, bisa-bisa lulus terlambat. Mending lulus dulu kan, baru nanti cari kerjanya. Kami bisa kembali ke negeri kami, bekerja dengan baik dan menikah di sana."

PS: "Ooh baiklah, saya paham. Tapi, memangnya kalian nanti mau kerja apa di Indonesia?"

L: "Hmm... mengajar di sekolah, mungkin."

PS: "Ah, menjadi guru?"

L: "Iya. Seperti itu kurang lebih."


Aduh capek ah ngeladenin Pak Supir ini. Capek bohong mulu. Bener kata pepatah, sekali bohong, seterusnya kita akan terus berbohong. Untung taksi sudah sebentar lagi sampai. Percakapan menyesakkan itu pun berakhir.

Saya jadi sadar, status jomlo yang saya banggakan selama ini ternyata bisa menggiriskan juga.
________


Kisah itu nyata terjadi kira-kira sebulan lalu, dengan versi jauh lebih ringkas. Pada kejadian sebenarnya, bapak supir (atau mas-mas supir?) pertanyaannya jauh lebih banyak, dan obrolan jauh lebih panjang. Tahu sendiri jarak perjalanan H10 ke Darasa tidak sebentar (kurang lebih 40 menit), dengan situasi di mana saya tidak punya seorangpun yang bisa berbagi kesialan dilempar pertanyaan, juga tidak bisa kabur gitu aja (*mau lompat dari mobil pun gak memungkinkan). Akhirnya saya kebanyakan gelagapan menjawab hmmm..... eennggg.... dan bunyi-bunyian aneh lainnya.

Maksud yang ingin saya sampaikan dengan penggalan cerita ini sebenarnya bukan cuma masalah ribetnya ngarang cerita spontan. Namun lebih kepada bagaimana teman-teman saya sesama Masisirwati ternyata mengalami hal yang sama, baik oleh 'ammu-'ammu penjual, atau seorang ketika sama-sama berdiri dalam bus. Kebiasaan orang Mesir yang mungkin biasa saja kalau yang ditanya adalah teman kami yang mahasiswa--sesama cowok mah bisa santai menjawab sambil bercanda. Tapi tidak buat kami yang mahasiswi. Bayangkan saja, tiba-tiba ditanya seperti itu oleh pria asing tidak dikenal. Sama orang Indonesia saja horor (*sambil lirik ribuan meme dan bully-an 'kapan kawin' di medsos), apalagi kaya gini. Menyeramkan.

Apakah orang-orang Mesir biasa menikah muda ya, sampai kalian sering ditanya udah nikah atau belum?
Jawabannya: ya enggak juga. Sama saja kok seperti di Indonesia, ada yang duluan, ada yang belakangan. Bahkan tidak sedikit guru kami di markas yang menunda menikah demi target akademis atau karir. Cuman ya gitu, ada perbedaan kultur yang membuat mereka tidak menganggap status pernikahan itu masuk ranah privat sebagaimana orang Indo.

Tapi tetap saja, pertanyaan seperti itu benar-benar bikin gak nyaman!
Saya selalu berprasangka kalau pertanyaan tentang status itu gak layak disebut murni keisengan, melainkan udah masuk kategori pelecehan. Memang judgemental  sih.. Lagian kenal aja kagak, ngapain sih tanya-tanya udah nikah apa belum segala. Terus, kalau belum kenapa? Kalau sudah kenapa hahh?!!

Tahan Tiip... Tahaan 😁

Masalahnya... dalam banyak kasus--meskipun bukan dalam konteks serius-, dialog seperti itu sering berlanjut kepada 'interogasi' yang bikin risih, rayuan gak jelas, tawaran menikah dengan orang Mesir saja, atau bahkan diajak kawin (kalau pelakunya masih muda). Sampai saking seringnya kami mahasiswi rawan pelecehan verbal (lewat kata-kata) yang demikian, banyak dari kami mengenakan cincin emas di jari manis supaya bisa jadi bukti palsu kalau kami sudah punya pasangan, supaya gak diganggu lebih lanjut.

Itu baru satu contoh sederhana. Aslinya masih banyak bentuk harassment lain yang menyasar kami, cuman saya gak bisa ceritakan di sini. Kapan-kapan ajalah (*kapan?)

Sesuatu yang baru saya sadari, ketika saya membagikan cerita ini ke beberapa teman (sebelum diposting di blog ini, saya membagikannya ke grup Whatsapp teman-teman sekelas). Mereka tiba-tiba antusias menceritakan pengalaman mereka masing-masing kepada saya tanpa diminta. Mungkin karena merasa senasib, rasa sungkan untuk mengungkapkan itu luntur, dan mereka jadi lebih terbuka. Bahkan kami justru bisa dengan ringan menertawakan hal itu bersama-sama.

Pada akhirnya saya jadi belajar untuk tidak malu atau merasa sial sendirian ketika mengalami hal semacam ini. Sebab selalu ada wadah dan teman untuk berbagi. Kami adalah sekelompok merpati tangguh yang sudah berani terbang jauh ke perantauan, tentunya harus saling menguatkan, bukan?
 ......

Kairo, hari pertama bulan November 2017.
Welcome, winter 😅

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..