Gawai dan Medsos: Alat Distraksi dan Pemborosan

Sudah lewat dua bulan tanpa postingan terbaru. Penyebabnya sepele sekali: terlalu sibuk dengan gawai. Banyak inspirasi yang tadinya sudah semangat sekali untuk ditulis, mendadak hilang karena ada bunyi notifikasi ponsel--biasanya Whatsapp- yang kemudian malah berlanjut lihat-lihat isi ponsel (dasar Latipnya ini mah..). Ujung-ujungnya saya jadi terdistraksi, dan postingan baru itu pun gak jadi-jadi. 

modern-world-caricature-illustrations-steve-cutts-4
Sumber: boredpanda.com

Saya baru ngerasain distraksi sebesar ini terutama setelah merasa punya kuota banyak plus lagi liburan. Banyak ide dan inspirasi dari berbagai sudut layarnya, tapi secepat mereka datang secepat itu pula mereka pergi.
Gak bisa fokus mau nulis apa, karena selalu tertutup sama topik lain. Misal, saya yang lagi mengebu-gebu menulis soal catcalling tiba-tiba tertarik untuk buka situs berita gara-gara kasus teror di London Bridge yang sepintas lewat di beranda Facebook. Isi kepala saya berubah jadi: gimana kalau saya nulis tentang teror ini? mumpung lagi tren... Tapi selesai baca berita itu, saya jadi tertarik lihat berita jalan tol baru di Salatiga, dan isi kepala saya berubah lagi: Gimana kalau bikin cerpen yang settingnya di jalan tol aja?

Aduuuh... Mungkin seandainya saya langsung menulis tentang catcalling itu tanpa melirik konten yang lain, bakal langsung jadilah postingan itu. Kalau dibuat bagan urutan, idealnya kira-kira sesederhana ini: begitu dapat ide yang agak cling, segera matikan hape, lalu buka laptop. Ngetik lho ya. Bukan nonton film.

Dan akhirnya saya baru sadar, oalah jadi ini tho masalah anak muda sekarang. Terlalu sibuk dengan hal-hal singkat yang bikin fokus jadi pendek.

Gawai pintar dan media sosial untuk sementara saya jadikan kambing hitam dulu.
Loh mak.., kambing hitam bukannya saya ya mak?!

  
Media sosial--selanjutnya saya singkat medsos- di ponsel saya cuma Whatsapp dan Facebook Lite. Udah, dua itu aja. Tapi urusan nyita waktu itu, saya akui Masyaallooh... bisa setengah jam sendiri ngeliatin beranda doang. Padahal kalo buat nyuci baju mah udah selesai lah seember. 

Itu baru dua akun, dan saya termasuk pengguna yang jarang update status maupun komentar, alias cuma jadi penonton. Gimana mereka yang punya medsos banyak dan aktif di mana-mana itu ya? Saya jadi bergidik sendiri. Pantesan banyak ilustrasi ngeri tentang kehidupan sekarang yang terikat dengan ponsel pintar, seperti dipajang di situs-situs hiburan macam boredpanda atau brightside.

Sebetulnya tidak hanya medsos yang membuat orang betah berlama-lama memainkan ponsel. Ada banyak hal lain yang juga menarik seperti browsing, chatting, atau sekedar menikmati fitur bawaan. Saya termasuk yang lebih sering menikmati fitur bawaan seperti memutar lagu atau video dibanding medsos. 

Tentang membatasi lama penggunaan gawai, saya juga sudah berusaha mematikan ponsel tiap kali mengisi ulang baterai. Apalagi ini ponsel J1 udah mulai soak baterainya, yang harus diisi ulang minimal dua kali sehari. Kalah jauh sama ponsel zaman sekarang mah baterainya kuat-kuat, speknya hebat-hebat. Gak heran oran-orang yang rela terdistraksi pun makin terpuaskan gitu. Gak lepas-lepas dari ponselnya, bahkan makin nempel aja.


Terus ini tujuannya nulis kritik tentang gawai atau medsos, sih? 

Alah mbuh, gajelas. Wkwkwk..

Yang jelas saya masih ingat betapa terkejutnya saya ketika kritikanku habis-habisan tentang fitur status di Whatshapp beberapa waktu lalu gak digagas, dan justru dinikmati orang-orang (baca: masisir) sekitar saya. Sebelumnya saya kira fitur itu bakal terbengkalai dan gak akan terpakai sama sekali. Tapi... astaga, bahkan mereka saling terhubung dengan saling menyimak dan mengomentari status teman dalam kontak mereka. Seolah mereka punya dunia sendiri di mana saya tidak ada di situ. 

Akhirnya saya ngalah. Saya pakai juga fitur itu ketika ingin membagikan sesuatu yang saya anggap penting. Meski begitu, tetap menghindari menyimak status siapapun. Saya pernah membentak seorang teman gara-gara dia lihat-lihat status Whatsapp orang lewat ponsel saya. Rugi banget kan kalau kuota yang harusnya bisa untuk baca berita yang lebih bermanfaat malah habis cuma untuk lihat snap orang.

Sebagaimana Whatsapp, begitu pula nasib Instagram saya. Percaya atau tidak, saya menghindari jauh-jauh tombol gulir di beranda. Rasanya sayang banget kalau paket data saya berjalan mendownload gambar-gambar kece tapi gak penting buat saya itu. Pernah berguna beberapa kali, buat nyari ide dekorasi, pake kata kunci dan tanda pagar. Tapi habis itu ya udah,, gitu.. gak ngapa-ngapain lagi. Jadi heran sama yang waktunya habis buat Instagram sampai habis bergiga-giga byte tapi bukan sesuatu spesifik yang dia cari. Cuma stalking dan jadi penikmat karya orang. Buat inspirasi? Kayanya engga tuh. Kecuali sedikit. 

Eh, apa saya terlalu 'konservatif'? 

Untuk urusan hemat kuota, mungkin iya. Tapi untuk urusan mengatur waktu pemakaian gawai, menjaga supaya fokusnya gak gampang teralihkan, itu masih susah. Gini-gini, saya juga suka kepo sama berita terbaru. Bedanya, saya gak nyimak lewat medsos, tapi browsing situs-situs favorit.

Iya, standar orang beda-beda. Tapi untuk masalah kerugian, harusnya sih sama. Terlalu banyak bergantung pada internet jelas menghabiskan kuota, dan terlalu banyak main gawai juga pasti mengonsumsi listrik. Ingat, ukuran habisnya mereka (kuota dan listrik) itu selalu tetap ukurannya, gak seperti amal perbuatan yang kelihatannya sama tapi ukuran pahalanya bisa beda tergantung niat dan keikhlasan.

Belum lagi kalau bicara soal kerugian yang menyangkut fisik dan kecerdasan, seperti yang diceritakan ibuk ini soal pengalamannya menjauhkan gawai dari anak-anaknya. Ada paragraf yang tiap kali saya membacanya, saya jadi nyesel kenapa kenal gawai lebih awal. Hohoho..

Nih saya kutipkan:

Penulis buku Grown Up Digital Don Tapscott mengatakan, pada usia 20 tahun, rata-rata remaja telah menghabiskan waktu 20 ribu jam menyelusur internet. Dibombardir terus-menerus oleh bit demi bit informasi, dengan sendirinya otak mereka menyesuaikan diri. Jalur-jalur syaraf otak untuk mengelola informasi digital diperkuat, tetapi di sisi lain, sepertinya ada jalur-jalur syaraf otak lain yang dikorbankan, tak sempat berkembang, sebagai kompensasinya.
Barbara Arrowsmith Young merasakan adanya perbedaan kentara pada anak-anak masa kini. Sebagai pendidik yang telah menterapi sejumlah besar siswa yang mengalami kesulitan belajar sejak era 70-an, Young melihat bahwa banyak anak muda sekarang punya masalah dengan fungsi eksekutif, yakni kemampuan berpikir dan menggeluti problem sampai tuntas. “Defisit perhatian,” katanya. “Mereka bisa mengawali suatu tugas, tapi tidak bisa menjaga orientasi. Perhatian mereka terpecah, tapi tak bisa berkonsentrasi ulang pada tugas semula.” Tiga dekade lalu, fenomena ini langka sekali. Tetapi sekarang, “Sepertinya 50% siswa mengalami masalah ini,” sesal Young.
….

Dr. Small mengadakan eksperimen. Timnya mengamati konfigurasi otak pada dua kelompok: kelompok digital natives yang sudah mahir berkegiatan online, dan kelompok digital naives yang sama sekali belum pernah berkegiatan online. Saat awal di-scan, didapati bahwa dalam berkegiatan online, bagian dorsolateral otak kelompok pertama bekerja aktif, sementara dorsolateral kelompok kedua diam saja. Namun, hanya dengan lima jam latihan (satu jam sehari), bagian dorsolateral otak kelompok kedua yang semula pasif, telah menjadi sama aktifnya dengan kelompok pertama. Small sendiri terkagum-kagum. “Lima jam!” katanya. “Hanya lima jam berinternet dan otak sudah langsung terprogram ulang.”

Namun, tetap ada perbedaan. Baru mulai belajar internet usia 30-an membuat otak seseorang sudah lebih dahulu matang sebelum diprogram ulang. Kalau dibandingkan dengan anak-anak digital natives, dampak internet terhadap otak kelompok kedua ini lebih terbatas, sebab proses penyusunan otak mereka mendapatkan titik tolak yang berbeda.

Otak anak-anak usia remaja ke bawah jauh lebih mudah dibentuk, sekaligus jauh lebih rentan. Perbedaan konfigurasi otak dan kapasitas mental inilah yang melatarbelakangi kebijakan mengapa kita melarang anak “belum cukup umur” untuk ikut Pemilu, menyetir kendaraan bermotor, atau (kalau di Barat) minum vodka, walaupun mungkin badan mereka sudah sebesar orangtuanya.

Pada usia remaja, wilayah amygdala yang mengatur keterampilan berempati dan otak depan (frontal lobe) sebagai pusat keterampilan menalar secara kompleks belum berkembang sepenuhnya. Jadi, jangan heran jika para remaja cenderung egois, suka cari enaknya sendiri, suka yang instan, dan sulit memahami sudut pandang oran oleh orang-orang yang makin lama justru makin berkurang kecerdasannya g lain. Mereka harus belajar mematangkan itu seiring matangnya otak dan lewat kontak sosial yang bermakna.

Apa yang terjadi ketika pada usia rentan ini, anak-anak menggunakan terlalu banyak teknologi? Para peneliti otak punya dugaan, hal itu bisa mengganggu perkembangan frontal lobe dan akhirnya menghambat proses pendewasaan diri. Seolah-olah otak mereka dibekukan dalam modus remaja untuk seterusnya. Sebuah studi kontroversial tahun 2002 oleh Dr. Akio Mori dari Tokyo’s Nihon University mendapati: makin panjang waktu yang anak habiskan bermain video games, makin tertekan perkembangan area-area kunci frontal lobe yang mengatur pembelajaran, memori, emosi, dan kendali naluri.


Nah tuh, serem gak?
Kalau saya sih ngeri sendiri membayangkan dunia nanti bakal dipenuhi oleh generasi yang makin berkurang kecerdasannya jusru karena kecerdasan buatan manusia itu sendiri. Jadi gambaran kondisi buruk manusia di film-film macam Doraemon atau Wall-E akan terjadi nyata gak cuma dalam hal fisik yang melemah, tapi juga mental dan emosi.

Arh, Latip mah suka kejauhan kalo mikir... zzzzzz....

----
Kairo, 8 Syawal 1438 H
Selamat lebaran, mohon maaf lahir batin ya 😃

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..