Nasionalisme; Mengimani Status Keindonesiaan

Tidak sengaja menemukan kiriman ini dalam lini masa facebook saya. Yang membagikan adalah seorang teman yang setahu saya wawasan politiknya cukup luas. Sedangkan penulisnya adalah Pak Made Supriatma, seorang pengamat politik yang tulisannya telah banyak tersebar di berbagai media. Lihat profilnya di sini.

Meskipun catatan ini ternyata sudah lama (ditulis pada tahun 2000) namun tetap saja membuat saya yang rabun politik ini terkesiap. Indonesia tidak sesederhana kalimat "Aku orang Indonesia, dan aku cinta Indonesia".

Terlebih karena saya kebetulan adalah salah satu diaspora (*eeaa) yang terlalu sering ditanya-tanya tentang negara asal saya. Pertanyaan pribadi saya yang heran soal kenapa banyak orang yang asing dengan Indonesia terjawab dalam catatan ini, bahwa Indonesia memang termasuk muda. Jauh lebih belia dibanding Mesir yang sudah ada sejak ribuan tahun sebelum Masehi.


Katanya, Hubbu al-Wathani min al-Îmân. Cinta negara adalah sebagian dari iman. Kalau pepatah tersebut benar-benar hadits dan dawuh (b.jawa=perintah) baginda Nabi, aduh berat euy... Masalahnya saya belum sempurna mengimani status keindonesiaan saya sendiri. Keimanan yang membuat saya merasa "saya adalah Indonesia, dan Indonesia adalah saya."



Oh iya, ngomongin soal nasionalisme, sampai saat ini saya masih belum paham juga quotes terkenal dalam film Rudy Habibie yang menjadikan cinta Indonesia sebagai fakta, masalah, sekaligus solusi.

Berikut catatan beliau, pak Made Supriatma.
_____

Nasionalisme Indonesia dan Papua
11 OKTOBER · PUBLIK

DEBAT tentang Papua telah sampai pada satu soal yang maha penting: nasionalisme Indonesia. Kalau diperhatikan, Indonesia adalah negara yang sangat "ajaib." Sekian banyak perbedaan namun bisa disatukan dalam satu bangsa. Bahkan pembentukan Indonesia sebagai sebuah "bangsa" ini tidak memerlukan waktu dalam bilangan abad. Cukup 25 tahun, atau seperempat abad, waktu untuk membentuk Indonesia.

Coba diingat, introduksi sistem pendidikan untuk kalangan pribumi dimulai awal abad ke-20. Hanya dalam waktu beberapa tahun kemudian muncul gerakan sosial pertama di Indonesia. Singkat sekali, hanya dalam waktu 5-10 tahun! Hasil pendidikan STOVIA bukan hanya dokter-dokter pribumi namun juga manusia-manusia nasionalis, yang tiba-tiba saja tersadarkan bahwa kita (pribumi) adalah lain dari "mereka" (orang kulit putih). Tidak sampai dua puluh tahun kemudian, ide tentang bangsa Indonesia telah matang.

Namun ada beberapa hal yang perlu dikaji secara luas. Pertama, yang dinamakan bangsa (nation) tidaklah sama dengan negara (state) . Implikasi dari soal ini sangat luas. Indonesia sebagai negara adalah "warisan kolonial" ( product of colonial legacy ). Teritori, administrasi, sistem hukum (walaupun sekarang banyak diubah) Indonesia adalah produk dan kelanjutan dari pemerintahan kolonial Belanda.

Sementara bangsa sangat berbeda dari negara. Bangsa Indonesia adalah baru, bukan hasil bentukan Belanda, sekalipun kelahirannya dipengaruhi oleh kolonialisme Belanda. Soal negara mungkin sudah jelas. Tidak heran jika siapapun yang berkuasa di Indonesia dia mewarisi sebuah kebudayaan negara (sekali lagi: kebudayaan negara atau statecraft) yang diwarisi dari sejak berabad-abad. Mentalitas birokrasi, cara memerintah, sistem administrasi, etc., semuanya adalah warisan kolonial. Sehingga, kalau ada watak kolonial dalam setiap pengelolaan negara, maka sumbernya bisa dicari disini. Banyak sejarahwan, misalnya, menemukan betapa pararelnya negara jaman Orde Baru dengan negara kolonial tahun 1930an.

Soal kedua, tidak pernah tegas dan jelas apa yang dinamakan bangsa Indonesia itu. Siapakah bangsa Indonesia? Orang bisa bilang bahwa Indonesia adalah bangsa yang multi-etnik, multi-ras, multi-agama, multi-ideologi, etc. Namun tidak pernah jelas kalau ditanya, siapa sih orang Indonesia? Apakah orang Indonesia adalah orang pribumi? Siapa yang menentukan apa dan siapa yang pribumi itu?

Bangsa, kata Benedict Anderson, adalah sebuah ' imagined communities,' orang yang merasa satu dan akrab sekalipun tidak kenal satu sama lain. Mengapa bangsa muncul? Ben bilang, antara lain karena ''kapitalisme media cetak." Lihat saja koran. Kita baca, kita tahu bahwa ada Semarang "disana" tanpa perlu mempertanyakan apa dan siapa Semarang itu dan kita merasa akrab dengannya tanpa perlu hadir disana. Penjelasannya lumayan rumit.

Ketiga, sekalipun demikian, tetap tidak jelas: Siapakah Indonesia itu? Bukankah selama ini Indonesia diinterpretasikan secara sewenang-wenang? Mengapa sebagian orang mengatakan keturunan Cina bukan Indonesia? Padahal kalau dilihat, sebelum semua orang yang mengaku dirinya "Indonesia" memakai bahasa Indonesia, orang-orang Cina keturunanlah yang memakai bahasa Melayu pasar (yang kemudian dengan sewenang-wenang diambil alih oleh kaum nasionalis Indonesia menjadi bahasa kebangsaan!) sebagai bahasa pengantar dan bahasa komunikasi mereka. Lihatlah koran-koran bahasa Melayu pasar pada akhir abad ke-18 dan karya sastra yang terbit saat itu. Siapa yang menerbitkan dan komunitas mana yang memakai? Orang Cina peranakan.

Bisa dikatakan, kalau dilihat dari segi ini, "Indonesia" pertama-tama dibentuk oleh orang-orang keturunan Cina. Ini bukan logika tapi fakta empirik. Orang-orang ini, yang bisa disebut kaum diaspora, membentuk kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan kebudayaan leluhurnya sekaligus tidak sama dengan kebudayaan di negeri dimana dia tinggal. Kebudayaan ini menghubungkan keturunan Cina di Bandung, Banjarmasin, Medan, Makasar, dll. Kebudayaan yang sama pula dipakai oleh "pribumi" yang terpecah-pecah dan berbeda-beda ini untuk menyatukan dirinya.

Anehnya pula, dalam perjalanan selanjutnya, pendiri kebudayaan ini justru disingkirkan, mengalami diskriminasi dalam segala bidang.

Lalu, apa dan siapa yang disebut Indonesia? Sebagai bangsa, tidak pernah jelas apa yang dinamakan Indonesia. Hingga saat ini, saya melihat bahwa Indonesia adalah sebuah "solidarity" dalam entitas yang namanya "Indonesia." Karena itulah, eksistensinya sangat tergantung dari kekuatan masing-masing elemen didalamnya untuk mengimajinasikan (pinjam Ben Anderson lagi) keindonesiaannya. Elemen-elemen didalam Indonesia masih sangat rapuh.

Dibandingkan dengan bangsa lain, Indonesia adalah bangsa yang masih sangat muda. Jika orang Papua, kalau mau dianggap elemen dalam Indonesia, mau lepas dari Indonesia, tentulah mereka tidak cukup kuat mengindentifikasikan dirinya terhadap Indonesia.

Soalnya kemudian adalah mengapa bisa terjadi? Banyak argumen mengatakan karena mereka diperas, dianiaya, dan disiksa terus oleh rejim Orde Baru yang memerintah Indoensia. Namun, pendapat ini dibantah yang lain dengan mengatakan, daerah lain juga diperlakukan seperti itu namun tidak minta pemisahan diri.

Imajinasi dan attachment terhadap Indonesia, harus diakui, bervariasi tergantung pada sejarah, pendidikan, partisipasi, dan lain sebagainya. Ada banyak variabel yang menentukan hal ini. Mungkin Papua sangat lemah karena merasa berbeda. Kalangan terdidik Papua dengan mudah merasakan perbedaan itu.

Perasaan yang sama diperlihatkan oleh orang macam Dr. Soetomo. Ketika dididik Belanda, tiba-tiba muncul kesadaran bahwa dia memiliki kebudayaan sendiri yang integritasnya tidak lebih rendah dari kebudayaan Eropa.

Papua sudah minta merdeka. Demikian pula Aceh. Timor Leste bahkan sudah merdeka. Untuk kasus yang terakhir, mereka memang tidak pernah berimajinasi untuk masuk kedalam Indonesia. Dua kasus yang lain membuat kita bertanya-tanya: mengapa ini terjadi? Mungkin ini saatnya berpikir ulang tentang keindonesiaan. Ini harus dilakukan oleh orang Indonesia sendiri.

Sementara, kalau melihat perkembangan politik real akan terlihat bahwa bahaya ini semakin menajam. Hampir pasti, jika Indonesia menjadi negara Islam (PPP sudah mulai membangkitkan Piagam Jakarta) maka tidak akan ada lagi Indonesia. Jika Laskar Jihad tidak memulai toleransi, maka Indonesia akan pecah berantakan. Jika kaum Kristen di Maluku tidak mau berdamai, maka Indonesia ada dalam bahaya. Tidak banyak orang di Indonesia yang sadar posisi ini. Tidak Akbar Tanjung. Apalagi Amien Rais, Megawati, Hamsah Haz, dan politisi lainnya.

Watak dan karakter mereka semua adalah watak dan karakter KOLONIALIS. Watak yang sama ada pada para jendral dan TNI, institusi yang mengklaim dirinya sebagai pilar paling penting dalam menegakkan Indonesia.

Dalam penilaian saya, hanya Presiden Abdurrahman Wahid yang mengerti semua ini. Dari tindak-tanduknya dalam menyelesaikan Aceh dan Papua, terlihat jelas bahwa dia mengerti apa dan siapa Indonesia itu. Cara-cara non-kekerasan yang ditunjukkannya menunjukkan arah yang benar terhadap penyelesaian masalah. Sayang, politisi-politisi oportunis mengacaukan semua itu.

Terakhir, mungkin harus diingat kembali bahwa bangsa dan negara adalah dua hal yang berbeda. Negara Indonesia sangat boleh jadi akan terpecah-belah. Dipandang dari sisi politik realis, sangat sulit untuk tetap mempersatukan Indonesia. Kalau tidak sekarang, mungkin perpecahan itu akan terjadi kemudian.

Tetapi sebagai bangsa, mungkin Indonesia akan bertahan lebih lama. Papua mau merdeka. Ingat, apa bahasa yang akan mereka pakai? Bahasa Indonesia! Lagu kemerdekaan mereka dinyanyikan dalam bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia pula yang menyatukan ratusan suku-suku kecil Papua. Aneh bukan? Sama seperti India, bahasa Inggris, bahasa penjajahnya, menjadi penyatu bagi rakyat India.

Menurut saya, ide Indonesia harus dimulai bukan dari para politisi Jakarta yang rakus dan oportunistik itu. Saat ini yang dibutuhkan oleh Indonesia adalah solidaritas antar-warganya. Mengapa tidak ada yang memelopori persatuan antar-warga, diluar pengaruh badut-badut politik Jakarta itu? Presiden Wahid layak dibantu usahanya untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Hanya dengan penyelesaian damai, Indonesia bisa terus berdiri.

New York 06.13.00

______
Sumber link di sini

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..