Problem Anak Rantau: Susahnya Menghubungi Orang Tua

Dibanding teman-teman masisir seangkatan, mungkin saya termasuk yang jarang curhat ke orang tua. Boro-boro curhat, kontakan aja jarang. Sejak bertolak ke Mesir pada bulan Agustus 2015 lalu, baru tiga kali saya telepon rumah. Terakhir telepon bulan Desember tahun lalu, itupun ngobrol panjangnya cuma ke dek Difah yang waktu itu lagi liburan pondok. Itu berarti sekitar empat bulan yang lalu (fyi: saya menulis ini pada April 2016). Setelah itu belum pernah lagi.

Biasanya orang gak langsung percaya, masak sih jauh-jauh sampai Mesir begini gak pernah kontakan? Secara zaman udah canggih. Gak perlu mikir pulsa telepon yang mahal, wong aplikasi chatting sekarang udah dilengkapi fitur free call - video call. Masalahnya, meskipun saat ini di rumah sudah ada smartphone (itupun baru beli bulan Desember), tapi kan sama saja kalau orang rumah gak paham bagaimana menggunakannya. Sepertinya mereka masih bingung dengan konsep akun, hitung-hitungan paket data, volume data, masa aktif, dan lain-lain biaya internet. Dikiranya kirim pesan Whatsapp langsung kirim saja seperti SMS. Padahal kan, sesederhana apapun Whatsapp tetap saja pakai akun, pakai data selular, plus jaringan internet yang baik. Padahal tarif internet reguler tanpa paketan itu mahhhaalll...

Belum lagi berbagai problema umum smartphone yang gak pernah mereka mengerti, seperti: 
Kok baterai hapenya gak sampai sehari udah habis? Padahal gak dipakai apa-apa.. 
Atau begini: 
Paketan lima puluh ribu kenapa seminggu sudah habis? padahal di tulisannya sebulan..
Kalau mau lebih ekspresif bisa ngikut gayanya situs malesbanget.com begini:
Kok hape bisa boros banget baterai dan pulsa begitu siih.. Kenaapaa.. Kenapaaaa??!! #histeris
Dan mereka gak akan paham begitu saja kalau saya terangkan soal aplikasi yang berjalan di background dan belum ditutup secara sempurna. Mereka pasti ngotot kalau sudah keluar ya keluar. Berarti kan udah ditutup, kenapa juga masih makan baterai dan pulsa internet.. Haduuh,, kalau begini saya jadi pengen buru-buru pulang ke Indonesia dan mengajari mereka cara menggunakan smartphone dengan baik dan benar. Dari browsing sampai chatting.

Eh? Mengajari? Iya, mengajari. Habis, Bapak mau tanya temannya, malu. Umi ga tau tanya ke siapa selain kepada Bapak. Adik-adik semuanya cuma paham smartphone sebagai reinkarnasi game watch atau tempat nonton video asik di Youtube. Dan di mana-mana, game online dan video streaming itu kan semacam vacuum cleaner buat data, nyedotnya kenceng bangeeett!!! Idah adik saya yang paling besar dan sudah lulus Aliyah pun, sama saja gak paham perbedaan aplikasi dengan browser untuk membuka Facebook. Intinya, serumah itu gak ada yang paham. Di situ saya merasa sedih, hiks...

Sebenarnya pengen banget mengajari mereka soal seluk beluk smartphone dari dulu, sebelum saya pergi jauh ke Mesir. Supaya kita bisa kontakan. Gak harus muluk-muluk video call, bisa email-an aja aku bakal bersyukur banget. Tapi apa daya, saya di pondok gak pulang-pulang. Selang antara seleksi dan keberangkatan yang sebulan aja saya harus di pondok karena menemani Difah (kisahnya baca aja di sini). Praktis, gak ada waktu untuk mengenalkan mereka tentang sistem paketan dan memanfaatkan sosial media, huft...

Akhirnya, beginilah jadinya... Bapak Umi baru mendapat ilham untuk membeli smartphone jauh setelah saya berangkat ke sini, yaitu bulan Desember. Setelah mencoba chatting seadanya lewat WA, karena gak paham dengan masalah umum di atas, selanjutnya gak aktif lagi. Agak lama. Sampai pak lik (paman) yang mengabarkan, kalau paketan Bapak habis dan belum beli lagi. Ya sudahlah...

Kadang sempet iri juga sih, sama teman-teman yang bisa chattingan sama orangtua mereka tiap hari. Atau telepon sambil curhat tiap bulan. Atau saling berbalas komentar dan tag/mention di sosial media. Mereka bebas mengekspresikan perasaan mereka. Bercerita soal perbandingan harga bahan-bahan makanan Mesir-Indo. Saling meminta doa ketika ada anggota keluarga yang sakit. Hangat dan penuh cinta. Dan itu gak cuma teman-teman cewek, teman-teman cowok pun juga sedekat itu dengan keluarga mereka di Indonesia. Waah... #mata bintang-bintang.

Lah kamu kangen keluarga kamu apa enggak? Anggap saja ada yang bertanya begitu.

Saya jawab: Alhamdulillah, saya terbiasa jauh. Saat mondok dulu, saya pulang cuma setahun sekali, karena jarak rumah cukup jauh sedangkan waktu liburan sempit. Bahkan saya terakhir pulang ke Bekasi cuma pas lebaran kelas 4 KMI (setara kelas 1 Aliyah), setelah itu tidak pernah pulang lagi sampai selesai pengabdian, itu setara 3 tahun. Setelah wisuda kelulusan pondok saja tidak sempat pulang, karena yang terpilih pengabdian di pondok sibuk mengurus pesantren Ramadhan. Selama pondok juga, saya tidak pernah dijenguk. Menelepon rumah cuma dua bulan sekali, atau kalau ingat karena sedang butuh kiriman. Jadi, saya sudah sangat terbiasa sendiri sebetulnya. Bahasa kerennya, sudah mandiri. Eh, mandiri? #nyengir, berusaha meyakini pilihan yang keren.

Namun ada sesuatu yang sedikit mengganggu saya. Dari gambar-gambar yang tersebar di medsos, ada salah satunya yang bercerita tentang seorang laki-laki tua yang pergi memperbaiki hapenya. Setelah diperiksa, ternyata baik-baik saja. Kalimat terakhir laki-laki itu yang menyentak seluruh anak rantau:

"Tapi kenapa anak-anak tidak pernah menelpon saya?"



Huuaaa... sumpah itu nyelekit bangett..!! Kalau kayak gitu gimana saya gak merasa bersalah? hadyuuh... #garuk-garuk kepala. Ya gimana lagi? Sarananya kurang nih.. mau ke wartel juga mahal bangeetttt.. masak sih saya nanti gak bisa naik bus terus jalan kaki ke kampus gara-gara uangnya habis buat nelpon doang?

Tapi bagaimanapun saya tidak akan menyalahkan Bapak Umi karena gaptek, karena mereka lah yang mula-mula mengajari saya cara menggunakan hape untuk menelepon dan SMS. Mau gak mau saya jadi terkenang belasan tahun lalu, ketika hape masih jadi barang wah, jadi kami gak pernah berani menyentuhnya karena takut rusak atau kenapa-kenapa. Padahal hape Bapak Umi tebalnya seperti novel AAC dan ada antenanya di bagian atas, hhaha... Nah, waktu itu kami diajari bagaimana mengetik SMS dan cara menyingkat kalimat (SMS saat itu masih terbatas 160 karakter dan bertarif Rp. 350,-). Saya masih ingat waktu itu kami terkagum-kagum karena bisa berkomunikasi dengan pak lik kami yang jauh di Papua sana. Rasanya hebat sekali, bisa mengirim pesan, sana nya paham, dan kemudian membalas dan kami pun bisa paham membacanya. Canggih seperti di film-film.
Saya tidak akan berkembang sejauh ini jika Bapak Umi tidak pernah mengenalkan saya cara memakai hape. Ya kan??

Jadi, biarlah begini saja. Saya tidak akan merasa sedih cuma karena jarang kontakan atau curhat dengan ortu. Saya sudah cukup besar untuk dapat mengambil keputusan sendiri tanpa bergantung dengan pendapat mereka. Kalau ada masalah, saya punya Allah dan teman-teman yang baik sebagai tempat curhat. Juga selama saya bisa, saya akan berusaha menghadapinya sendiri, tanpa membebani pikiran orang tua. Karena menurut saya, orang tua seringkali khawatir ketika kita menceritakan masalah kita, namun mereka tidak bisa membantu selain saran sebisanya, dan justru itulah yang membuat mereka bertambah sedih. Kalau cuma minta doa, saya yakin kami sudah saling mendoakan setiap hari selepas shalat.

Lagipula, dengan jarang berkomunikasi, akan tumbuh rasa kangen. Hitung-hitung memupuk rindu biar banyak sekalian. Supaya kalau suatu saat nanti saya pulang ke Indonesia, ada banyak yang bisa saya ceritakan, gak habis-habis.

Oh ya, bukan berarti saya menyuruh kalian seperti saya loh ya. Bagaimanapun, silaturahmi ke orang tua itu pahalanya besar, karena menyenangkan hati mereka.

#peluk cium jauh untuk Bapak Umi dan adik-adik di Indonesia :*

Terbanyak Dilihat Orang

Libur Itu Perlu

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..