Pengantar Belajar Hadis Arba'in Nawawi

Abu Zakariya Muhyiddin al Nawawi, Syeikh al Islam. Lahir tahun 631 H di Nawa, sebuah desa di Kecamatan Hauran, Syria. Pendidikannya dimulai dengan belajar al Qur-an di desanya dan berhasil menghapalkannya sebelum berusia baligh.

Suatu ketika ada seorang syaikh yang bernama syaikh Yasin az-Zarkasyi (salah seorang ‘alim di zaman tersebut) yang melihat beliau membaca al-Qur’an. Kemudian beliau berwasiat kepada pengajar an-Nawawi dalam bidang al-Quran dan mengatakan,

“Anak kecil ini diharapkan menjadi orang yang paling berilmu di zamannya, yang paling zuhud di antara mereka, dan manusia akan mengambil manfaat ilmu darinya.”

Kemudian pada usia 19 tahun ia pergi bersama ayahnya “nyantri” ke Damaskus, yang menjadi pusat ilmu pada saat itu. Di sini ia belajar di madrasah al Rawahiyah. Ia seorang pelajar yang sangat tekun dan selalu mendampingi gurunya. Karena kecerdasan fikiran dan kemampuan hafalannya itu, ia sering ditugasi menjadi asisten gurunya. an-Nawawy pernah bercerita,

“Aku tinggal disana selama beberapa tahun tidak pernah meletakkan punggungku (berbaring) di lantai, dan aku hanya menguatkan diri dengan makanan yang disediakan oleh pihak madrasah.” (Tuhfatuth Tholibin hal. 45-46).

Menurut Ad-Dzahabi (ahli Sejarah Islam), An-Nawawi tidak pernah berhenti belajar selama 20 tahun dan itu dilakukannya siang – malam, sambil tetap hidup dalam kesederhanaannya, zuhud, dan berdakwah. Menurut Ibnu Aththar, salah satu muridnya,  beliau juga layak dikategorikan sebagai salah seorang mujtahid dalam mazhab fikih, meskipun sepanjang hayatnya beliau bermazhab Syafi’i.

Allah memberinya anugerah kekuatan belajar begitu rupa sehingga dalam satu hari ia dapat mengajarkan 12 mata pelajaran: hadis, fikih, ushul fikih, bahasa, tashrif, kalam, mantiq, akhlak, dan lain-lain. Pernah ia juga berkeinginan mempelajari ilmu kedokteran, tetapi Allah menghendaki dia untuk tekun dalam ilmu-ilmu agama.

Ia pernah memimpin lembaga pendidikan Dar al Hadits, menggantikan Syeikh Syihab al Din Abu Syamah. Untuk jabatan ini ia tidak mengambil upah sedikitpun. Ia dengan senang hati menerima cara hidup yang sederhana dari kiriman orang tuanya. Ia seorang faqih yang bersahaja dan memilih untuk tidak menikah selama masa hidupnya.

Semasa hidupnya dia selalu menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, menulis kitab, menyebarkan ilmu, ibadah, wirid, puasa, dzikir, sabar atas terpaan badai kehidupan. Pakaian dia adalah kain kasar, sementara serban dia berwarna hitam dan berukuran kecil.

Sebagaimana ulama muallif lainnya yang menulis pembukaan sebagai pengantar memahami kitab, Imam Nawawi dalam pembukaan kitab Arba’in Nawawiyah menulis pembukaan yang sayang untuk dilewatkan. Dalam muqaddimahnya, setelah memuji Allah dan bershalawat pada Rasul, Imam Nawawi mengatakan 40 hadis ini mengandung bab-bab terpenting dalam agama Islam. tema yang dihimpun oleh Imam An Nawawi, yakni berupa dasar-dasar agama, hukum, ibadah, muamalah, dan akhlak. Setiap hadis diberikan judul yang menggambarkan isinya.

Angka empat puluh ini memiliki makna spesial dalam umat Islam. Nabi diutus berusia 40, hadis tidak diterima salat selama 40 hari bagi yang pergi ke dukun, hingga banyaknya matan penting dalam ilmu agama yang berisi empat puluh baris.

Selain empat puluh hadis pilihan Imam Nawawi ini, sudah banyak ulama yang menulis empat puluh hadis pilihan mereka masing-masing, namun hanya dalam satu tema tertentu saja, seperti akhlak saja, atau jihad, atau adab, atau zuhud. Besarnya perhatian para imam kaum muslimin terhadap upaya pengumpulan ‘empat puluh hadits ini karena didasari berbagai riwayat yang menunjukkan keutamaannya. Rasulullah saw bersabda

“Barangsiapa di antara umatku menghapal empat puluh hadits berupa perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya padahari kiamat bersama rombongan fugaha dan ulama.” Dalam riwayat lain: “Allah akan membangkitkannya sebagai seorang yang faqih (ahli figih) dan alim.”

Meskipun hadis di atas sanadnya dha’if, namun jumhur ulama sepakat bahwa hadis dha’if boleh diamalkan jika itu memiliki tema fadhilah a’mal.

Imam Nawawi meninggal dunia dalam usianya yang masih relatif muda, yakni 45 tahun dan dikebumikan di desanya. Dalam usia sesingkat itu, kitab-kitabnya, terutama kitab ini (al Arba’in an Nawawiyah) –dan kitab beliau lainnya yakni Riyadhus Shalihin- sangat luas peredarannya dan paling besar perhatian umat Islam terhadapnya, baik kalangan ulama, dosen, mahasiswa, dan orang umum. Ini merupakan pertanda atas keikhlasan penulisnya sehingga Allah Ta'ala mengabadikan karya-karyanya di tengah manusia walau dirinya telah wafat berabad-abad lamanya.

Semoga kita semua bisa mengikuti jejak langkah para ulama rabbani dan mengambil banyak manfaat dari karya dan keteteladanan kehidupan mereka. Amin.


Terbanyak Dilihat Orang

Selamat Jalan, Kyai Uzairon..

Review Lirik Nasyid: Law Zaarani - Harmony Band

Snap Whatsapp: Ketamakan Facebook dan Solusi Gak Penting untuk Komunikasi Masisir