Postingan

Saat Aku Mendoakan Orang Lain

Dulu, setiap hari aku menyebut paling tidak lima sampai sepuluh nama orang terpenting, dalam tiap kesempatan berdoa. (Selain orang tua tentu saja, kalau untuk mereka sih permanen). Nah 'durasi' tiap nama yang didoakan ini beda-beda, ada yang beberapa bulan, ada yang bertahun-tahun, ada yang sesuai reques. Banyak yang terkabul, tapi banyak juga yang tidak. Sekitar sebulanan ini, aku tidak menyebut nama banyak orang lagi. Kecewa karena banyak yang tidak terkabul. Baru-baru ini diingatkan, kualitas doa seseorang itu, tiada manusia yang bisa mengukurnya. Doa yang terkabul belum tentu lebih tulus ikhlas daripada yang tidak. Iya juga sih. Tiba-tiba aku berharap, ada bagian dari doa-doa itu kembali padaku seperti siklus hujan. Apa itu berarti aku tidak ikhlas? Entah. Lagi berharap doa saja dari siapapun Doa hanyalah cara Tuhan menitipkan kasih sayangNya kepada hati manusia Yang dengannya mereka mengasihi sesama tanpa perlu bersentuhan. Tak butuh syarat apapun. Gerak pelan dari lubuk k

Mendoakan Orang yang Sudah Meninggal

Gambar
Sedikit cerita. Ada seseorang kerabat yang wafat. Aku menanggapinya biasa sebagaimana itu adalah siklus hidup. Beliau tidak dekat memang, kami jarang berinteraksi. Aku cuma yakin beliau orang yang baik, karena senang membantu sekitar dan tidak pernah menyusahkan siapapun selama hidupnya. Sampai suatu hari. Putrinya bertanya bagaimana cara membayar hutang salat dan puasa ayahnya. Karena ada yang mimpi ayahnya minta tolong (sebenernya ceritanya agak menakutkan, tapi intinya itu) Di situ aku mak deg. Campuraduk sedih. Iba. Takut. __________ Sunnah dari ulama kita terdahulu, memuji orang yang wafat, memberi kesaksian baik. Tapi mendengar cerita itu, ternyata takziyah dan berprasangka baik saja tidak cukup. Harus diiringi dengan betul-betul mendoakan. Pikiran seringkali menjalar. Satu orang berpikir A, sekampung bisa ikutan mikir A juga. Mikirnya, ah pasti udah ada orang lain yang doain. Minimal anaknya lah. Akhirnya kejadiannya malah gak ada yang berdoa, kecuali dalam acara tahlilan yang a

Mengamati Anak Kecil

Tiap kali mengamati anak kecil, pikiranku bersedih, mengapa anak-anak ini mesti terlahir, jika nantinya hanya diserahkan pada ombang-ambing kehidupan Akankah bertemu teman dan guru yang baik di sekolah. Bagaimana kalau kesulitan di materi pelajaran.. Setelah lulus sekolah, tantangan zaman seperti apalagi yang harus dihadapi. Bagaimana keadaan dunia saat mereka dewasa nanti.. Apakah mereka bisa mempertahankan agama dalam diri mereka.. ......tanpa sadar aku memproyeksikan kecemasanku pada mereka. Betapa besar konsekuensi hadirnya manusia. Sampai aku tidak bisa bergembira lagi tiap mendengar berita kelahiran. Mengingat sulitnya perjalanan hidup di dunia ini. Aku kasihan pada ruh-ruh baru yang harus melewati daar balaa'. Bagaimana jika kami sebagai manusia senior, gagal memberi mereka bekal agar bisa mandiri dan selamat dunia akhirat? Setiap ruh manusia abadi di sisi-Nya. Aku hanya mencemaskan kepada siapa dititipkan ruh itu selama di dunia. Aku hanya berdoa dalam hati, semoga manusia-

Tholabul 'Ilm: Usaha Belajar VS Berkah Khidmat

Guru kami, Syekh Husam Ramadan, pernah mengatakan, belum dikatakan pelajar sungguhan kalau belum pernah insomnia karena suatu masalah yang belum selesai dipecahkan. Lha kita, cuma baca kitab aja ketiduran. Ilmu Laduni, atau yang lansung diilhamkan Allah itu memang ada. Tapi ada syaratnya, dan jangan merasa berhak diberi, itu takabur namanya. Kata guru kami, ilmu itu hakikatnya buruan berat. Kita kerahkan seluruh diri saja, dapatnya hanya sebagian. Apalagi kalau hanya mengerahkan sedikit dari diri?  Belajar ilmu agama itu, tidak cukup hanya mengandalkan berkah adab dan khidmat lalu berharap dapat ilmu laduni tanpa capek-capek mikir. Lha kok enak? Ndak bisa begitu. Ilmu agama itu berat. Usahanya harus kencang, otak dan badan harus lelah. Tidak mungkin santai-santai meminum air bekas gurunya lantas mendadak jadi alim. Masalahnya, ada kecenderungan orang belajar agama (atau mengirim anaknya belajar) merapat pada tokoh yang dikenal keramat, baik itu habib maupun kyai, berharap mendapat ilmu

Tantrumnya Anak (yang sudah) Besar

Akhir-akhir ini, karena mempelajari sedikit tentang parenting, apa saja masalah manusia, mau akademik, sosial, finansial, sampai cinta, kuhubungkan akar dan solusinya dengan analisa parenting. Dari lingkungan seperti apa dia dibesarkan. Bagaimana kira-kira orangtua atau orang terdekatnya memperlakukannya. Pengalaman apa yang membekas di dirinya sampai menjadi seperti itu. Yah gitu-gitu lah, walau jatuhnya jadi lebih mirip cocoklogi, sih. Satu contoh, kejadian beberapa hari yang lalu. Salah satu anak didikku tantrum, karena marah setoran tahfiznya terus menerus kukoreksi. Dia masuk kamar mandi, mengunci menangis meraung sambil membanting-banting gayung di air selama hampir satu jam.